REPUBLII<>(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral
logam dapat diberilcan IUP kepada pihak lain urltuk
mengusahakan mineral lain yang keterdapatanrlya
berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari
pernegang IUP pertama.
Pasal 53
Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP
dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh limn ribu)
hektare.
Paragraf 3
Pertambangan Mineral Bukan Logam
Pasal 54
WIlJP mineral bukan logam diberikan kepada badan usaha,
koperasi, dan perseorangan dengan cara permohonan wilayah
kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalarr~P asal37.
Pasal 55
(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan loga~n diberi
WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare
dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral
bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain
untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan setelah mempertimbangkan peildapat dari
pemegang IUP pertama.
Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi
WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.
Paragraf 4
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Para.graf 4
Pertambangan Batuan
Pasal 57
WIUP batuan diberikan kepada badarl usaha, koperasi, dan
perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada
pernberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal37.
(1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas
paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling hanyak 5.000
(lima ribu) hektare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan
dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan serelah mempertimbangkan pendapar dari
pemegang IUP pertama.
Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan
luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare.
Bagian Kelima
Pertambangan Batubara
WIUP batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan
perseorangan dengan cara lelang.
(1) Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan
luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling
banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.
(2) Pada . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Elcsplorasi
batubara dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari
pemegang IUP pertama.
Pasal 62
Pemegang IlJP Operasi Produksi batubara diberi WIUP densan
luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
Ketentuan lebih lanjut rnengenai tata cara memperoleh WiUP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57,
dan Pasal6O diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VIII
PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 64
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana
kegiatan usaha pertambangan di WIUP sebagaimana
dilnaksud dalam Pasal 16 serta memberikan IUP Eksplorasi
dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalarn Pasal
36 kepada masyarakat secara terbuka.
(1) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagainlaila
dimaksud dalam Pasal 5 1, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal
60 yang ~nelakukan usaha pertambangan wajib
memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis,
persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan
administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan,
dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB IX . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB IX
IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
Pasal 66
Kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dim3ksud dalarrl
Pasal 20 dikelompokkan sebagai berikut:
a. pertambangan mineral logam;
b. pertambangan mineral bukan logam;
c. pertambangan batuan; dan/ atau
d. pertarnbangan batubara.
Pasal 67
(1) Bupati/walikota memberikan IPR terutama ltewada
penduduk setempat, baik perseorangan maupun
kelompok masyarakat dan/atau koperasi.
(2) Bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan
pelaksanaan pemberian IPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
(3) Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat
(I), pemohon wajib menyampaikan surat permohonan
kepada bupati/ walikota.
(1) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat dibcrikan
kepada:
a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare;
b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) helrtare;
dan/ atau
c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare.
(2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang.
Pasal 69
Pemegang IPR berhak:
a. mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis
pertambangan, dan manajemen dari Pemerin~ah
dan/ atau pemerintah daerah; dan
PRESIUEN
REPUBLIK INDONESIA
b . rnendapat bantuan modal sesuai dengan keten tual?
peraturan perundang-undangan.
Pasal 70
Pemegang IPR wajib:
a. melakukan kegiatan penamba.ngan paling larnbat 3 (tip)
bulan setelah IPR diterbitkan;
b. mematuhi peraturan perundang-undangan dl bidang
keselamatan dan kesehatan kerja pertambarlgari,
pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang
berlaku;
c. mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah;
d. membayar iuran tetap dan iuran produksi; dan
e. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan rakyat secara berkala kepada pe~nberi IPR.
Pasal 7 1 1
d
I
(I) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, S
pemegang IPR dalam melakukan kegiatan pertambangan 1 t
rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 wajib
menaati keteiltuan persyaratan teknis pertambangar?.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis
pertambangan sebagaimana dimaksud pada a p t (1)
diatur dengan peraturan pemerintah. 1
i
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR
diatur dengan peraturan daerah kabupatenl kota.
Pasal 73 4a
f
i
(1) Pemerintah kabupaten/ kota melaksanakan pembinaan di i
bidang pengusahaan, teknologi pertarnbangan, serta
permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan
kemampuan usaha pertambangan rakyat.
(2) Pemerintah kabupatenl kota bertanggung jawab terhadap 4
pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat 1
yang meliputi: 1
a. keselamatan dan kesehatan kerja; j
b. pengelolaan lingkungan hidup; dan
c. pascatan-bang.
(3) Untuk . . .
j
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)) pemerintah kabupaten/ kota
i~a j ibm engangkat pejabat fungsional inspektur tambang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Pemerintah kabupaten/ kota wajib mencata t hasil
produksi dari seluruh kegiatan usaha pertarnbangan
rakyat yang berada dalam wilayahnya dan melaporkannya
secara berkala kepada Menteri dan gubernur seternpat.
BAB X
IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
(1) IIJPK diberikan oleh Menteri dengan menlperhatikan
kepentingan daerah.
(2) !UPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
untuk 1 (satu) jenis mineral logam atau batubara. dalam 1
(satu) WIUPK.
(3) Pcmegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang menemukan mineral lain di dalam WIUFK yang
dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.
(4) Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan mineral
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (21, wajib
mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri.
(5) Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat menyatakan tidak berminat untuk menglrsahakan
mineral lain yang ditemukan tersebut.
(6) Pemegang IUPIC yang tidak bermin at un tuk
mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4)) wajib menjaga mineral lain
tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain.
(7) IUPK untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain
oleh Menteri.
Pasal 75
(1) Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
ayat ( I ) dilakukan berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia, baik berupa badan usaha milik negar-a, badan
usaha milik daerah, maupun badan usaha swasta.
(3) Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat PI-joritas
dalam mendapatkan IUPK.
(4) Badan usaha swasta sebagaimana dimaksuld pada ayat (2)
untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara
lelang WIUPK.
(1) IUPK terdiri atas dua tahap:
a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, dan studi kelayakan;
b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konst~uksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pengangkutan dan penjualan.
(2) Pemegang IUPK Eksplorasi dan pemegang IUPK Operasi
Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperolen
IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
( 1) Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijarrlin untuk
memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan
kegiatan usaha pertambangannya.
(2) IUPK Operasi Produksi dapat diberikan k-epada badan
usaha yang berbadan hukum Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) yang telah
mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.
IUPK Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
( 1) huruf a sekurang-kurangnya wajib memua t:
a. nama perusahaan;
b. luas dan lokasi wilayah;
c. rencana umum tata ruang;
PRESIDEN
HEPUBLIK INDOhIESIA
j aminan kesungguhan;
modal investasi;
perpanjangan waktu tahap kegiatan;
hak dan kewajiban pemegang IUPK;
jangka waktu tahap kegiatan;
jenis usaha yang diberikan;
rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
di sekitar wilayah pertambangan;
perpaj akan;
penyelesaian perselisihan masalah pertanahan;
iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
arndal.
IUPK Operasi Prodrtksi sebagaimana dimaksud dalarn Pa.sal 76
ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya wajib memuat:
a. nama perusahaan;
b. luas wilayah;
c. lokasi penambangan;
d. lokasi pengolahan dan pemurnian;
e. pengangkutan dan penjualan;
f. modal investasi;
jangka waktu tahap kegiatan;
penyelesaian masalah pertanahan,
lingkungan hidup, termasuk reklamasi dan
pascatambang;
dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang;
jangka waktu berlakunya IUPK;
perpanj angan IUPK;
hak dan kewajiban;
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar
wilayah pertambangan;
o. perpajakan;
p. iuran tetap dan iuran produksi serta bagian pendapatan
negaraldaerah, yang terdiri atas bagi hasil dari
keuntungan bersih sejak berproduksi;
q. penyelesaian perselisihan;
r. keselamatan dan kesehatan kerja;
s. konservasi mineral atau batubara;
t. pemanfaatan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
t. pernanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemarnpuan
rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan
pertambangan yang baik;
v. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
w, pengelolaan data mint:ral atau batubara;
x. penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi
pertambangan mineral atau batubara; dan
y. divestasi saham.
Pasal 80
IUPK tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam
pemberian IUPK.
(1) Dalam ha1 kegiatan eksplorasi dan keglatan studi
kelayakan, pemegang IUPK Eksplorasi yang mendapatkan
mineral logam atau hatubara yang tergali wajib
melaporkan kepada Menteri.
(2) Pemegang IUPK Eksplorasi yang ingin menjual mineral
logam atau batubara sebagairnana dimaksud pada ayat
(1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan
pengangkutan dan penjualan.
(3) Izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan oleh Menteri.
Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 81 dikenai iuran produksi.
Pasal 83
Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan
kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi penlegnng
IUPK meliputi:
a. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
pertambangan mineral logam diberikan dengan luas
paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
b. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi
produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan
luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
c. luas . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDObIESIA
c. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
pertambangan batubara diberikan dengan luas paling
banyak 50.000 (lirna puluh ribu) hektare.
d. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi
produksi pertambangan batubara diberikan derlgan luas
paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
e. jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral
logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun.
f. jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara
dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun.
g. jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral Yogam atau
batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing
10 (sepuluh) tahun.
Ketentuan lehih lanjut mengenai tala cara memperoleh WIUPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) d a i ~a yat (3),
dan Pasal 75 ayat (3) diatur dengan peraturan perrlerintah.
BAB XI
PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN KI-IUSIJS
Pasal 85
Pemerintah berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan
usaha pertambangan di WIUPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 serta memberikan IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi
Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 6 kepada
masyarakat secara terbuka.
Pasal 86
(1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat
(2) yang melakukan kegiatan dalam WIUPK wajib
memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis,
persyaratan lingkungan dan persyaratan finansia.1.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pcrsyara tan
administratif, persyaratan teknis, persyarataii lingkungan,
dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
EAB XI1 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB XI1
DATA PERTAMBANGAN
Pasal 87
Untuk menunjang penyiapan WP dan pengembangan ilmu
pengetahuan clan teknologi pertambangan, Menteri atau
gubernur sesua.i dengan kewenangannya dapat menugasi
lembaga rise t negara da n / atau daerah untuk melakultan
penyelidikan dan penelitian tentang pertambanga n.
Pasal 88
(1) Data yang diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan
merupakan data milik Pemerintah danlatau pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya .
(2) Data usaha pertambangan yang dimiliki pemerintah
daerah wajib disampaikan kepada Pemerintah untuk
pengelolaan data pertambangan tingkat nasional.
(3) Pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (:)
diselenggaraka n oleh Pemerintah dan/ atau peme rintah
daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan
penyelidikan darl penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87 dan pengelolaan data sebagaimana dimaksud daiam
Pasal 88 diatur dengarl peraturan pemerintah.
BAB XI11
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 90
Pemegang IUP dan IUPK dapat rnelakukarl sebagjan atau
seluruh tahapan usaha pertarnbangan, bail., kegiatan
eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarans clan
sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah
memerluhi ketentuan peraturam perundang-undangan.
Pasal 92
Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk
mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi
apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi,
kecuali mineral ikutan radioaktif.
Pasal 93
(I) Pemegang IUP dan lUPK tidak boleh memindahkan IUP
dan IUPK-nya kepada pihak lain.
(2) Untuk pengalihan kepemilikan danjatau saha~n di bursa
saham Indonesia hanya dapat dilakukan setelah
melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu.
(3) Pengalihan kepemilikan dan/atau saham scbagairnana
dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakulcan dengan
syarat:
a. harus memberitahu kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; dan
b. sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
peratura.n perundang-undangan.
Pasal 94
Pemegang IUP dan IUPK dijamin haknya untuk melakukan
usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 95
Pemegang IUP dan IUPK wajib:
a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik;
b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi
Indonesia;
c. meningkatkan . . .
PRESIDE N
REPUBLIK INDONESIA
c. meningkatkan nilai tambah surrlber daya mineral
dan/ atau batubara;
d. melaksanakan pengembangan dan peinberdayaan
masyarakat setempat; dan
e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.
Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik,
pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan:
a. ketentuan keselalnatan dan kesehatan kerja
pertarnbangan ;
b. keselamatarl operasi pertambangan;
c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan,
termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang;
d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara;
e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha
pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai
memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum
dilepas ke media lingkungan.
Pasal 97
Pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar
dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu
daerah.
Pasal 98
Pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan
daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 99
(1) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan
rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat
mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK
Operasi Produksi.
(2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan ?ascatambang
dilakukan sesuai dengan peruntukarn lahan
pascatambang.
(3) Peruntukan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimakslxd
pada ayat (2) dicantunlkan dalam perjanjian penggunaan
tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak
atas tanah.
Pasal 100
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana-iaminan
reklamasi dan dana jaminan pascatambang.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sssuai derigan
kewenangai~nya dapat menetapkan pihak ketiga untuk
melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana
jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak
melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai
dengan rencana yang telah disetujui.
Pasal 1.0 1
Ketentuan lebih lanjut rnengenai reklamasi dan pascatambang
sebagaimana dimaksi~d cialam Pasal 99 serta rlana jaminan
reklamasi dan dana jaminan pascatambang sebagairnana
dimaksud dalam Pasal 100 diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 102
Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan
mineral dan batubara.
Pasal 103
( 1 Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produltsi wajib
melakukan pengolahan dan pemurnian hasil
penambangan di dalam negeri.
(2) Pemegang IUP dan JUPK sebagaimana dirnaksud pacla
ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil
penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainrlya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai
tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta
pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur deilgan peraturan pemerintah.
Pasal 104 . . .
PRESIDEN
REPYBLIK INDONESIA
Pasal 104
(1) Untuk pengolahan dan pemurnian, pemegang IUP Operasi
Produksi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerja sama
dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang
telah mendapatkan IUP atau IUPK.
(2) IUP yang didapat badan usaha sebagairn.arla dimaksud
pada ayat (1) adalah IUP Operasi Produksi Khusus urituk
pengolahan dan pemurnian yang dikeluarkari oleh
Menteri, gubernur, bupati/'walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana diniaksud pada
ayat (1) dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian
dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR,
atau IIJPK.
Pasal 105
(1) Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha
pertambangan yang bermaksud menjual mineral
dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu
memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan.
(2) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diberikan untuk 1 (satu) kali penjualan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai iuran
produksi.
(4) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) wajib menyampaikan laporan hasil penjualan
mineral dan/ atau batubara yang tergali kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuaj dengan
Irewenangannya.
Pasal 106
Pemegang IUP dan IUPK hams mengutamakan pemanfaatan
tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 107 . . .
PRESIDEN
REPUBL-IK INDONESIA
Pasal 107
Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha
pemegang IUP dan IUPK wajib mengikutsertakan pengusaha
lokal yang ada di daerah tersebut sesuai dengaiz ketentuan
pera turan perundang-undangan.
Pasal 108
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.
(2) Penyusunan program dan rencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikonsultasikan ltepada
Pemerintah, pemerlntah daerah, dan masyarakat.
Pasal 109
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembangail
dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 108 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 1 10
Pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan seluruh data
yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi
k-epada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 11 1
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib memberikan laporan
tertulis secara berkala atas rencana kerja dan
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketentuan lebih larljut mengenai bentuk, jenis, waktu,
dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dirnaksud pada ayat (1) diatur dengarl peraturan
pemerintah.
Pasal 1 12
(1) Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha
pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dirniliki oleh
asing wajib melakukan djvestasi saham pada Pemerintah,
pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasio~al.
(2) Ketentuan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan perrierintah.
BAB XIV
PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSIJS
Pasal 113
(1) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan
dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila
terjadi:
a. keadaan kahar;
b. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan
penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usakla
pertambangan;
c. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah
tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan
operasi produksi sumber daya rnineral dan/atau
batubara yang dilakukan di wilayahnya.
(2) Penghentian sementara kegiatail usaha pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak Amei~gurangi
masa berlaku IUP atau IUPK.
(3) Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha
pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b disampaikan kepada Mentesi, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dapat dilakukan oleh inspektur tambang atau
dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulj s
diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak menerima permohonan tersebut.
Pasal 114
(1) Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan
kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) diberikan paling lama
1 (satu) tahu11 dan dapat diperpanjang paling banyak 1
(satu) kali untuk 1 (satu) tahun.
(2) Apabila . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Apabila dalam kurun waktu sebelum habis masa
penghentian sementara berakhir pemegang IUP dan IIJPJC
sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegialan
dirnaksud wajib dilaporkan kepada Menteri, gubernur,
atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai aengarr
kewenangannya mencabut keputusan pengherltian
se~nentara setelah menerima laporan sebagainiarla
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 115
(1) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha
pertambangan diberikan karena keadaan kahar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a,
kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah
dan pemerintah daerah tidak berlaku.
(2) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha
pertambangan diberikan karena keadaan ya ng
menghalangi kegiatan usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b, kewajiban
pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan
pemerintah daerah tetap berlaku.
(3) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha
pertambangan diberikan karena kondisi daya dukung
lingkungan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
113 ayat (1) huruf c, kewajiban pemegang IUP dan YTJPK
terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap
berlaku.
Pasal 116
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian sementara
kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 13, Pasal 1 14, dan Pasal 1 15 diatur dengan peraturan
pemerintah.
BAB XV
BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Pasai 1 17
IUP dan IUPK berakhir karena:
a. dikembalikan;
b. dicabut . . .
PHESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. dicabut; atau
c. habis masa berlakunya.
Pasal 1 18
(1) Pemegang IUP atau IUPK dapat ~nenyerahkan kembali IUFJ
atau IUPK-nya dengan pernyataan tertuiis kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesilai de~lgan
kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas.
(2) Pengembalian IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetuj~wi oleh
Menteri, gubern ur, atau bupati/ walikota sesuai dengan
kewenangannya dan setelah memenuhi kewajibannya.
Pasal 119
IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila:
a. pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang
ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan
perundang- undangan;
b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; atau
c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.
Pasal 120
Dalam ha1 jangka waktu yang ditentukan dalam IUP dan JIJPK
telah habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau
perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan
tetapi tidak memenuhi persyaratan, IUP dan IUPK tersebut
berakhir.
Pasal 121
(1) Pemegang IUP atau IUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya
berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalarn
Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 wajih
memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesual dengan
ketentuan peraturan peruridang-undangan.
(2) Kewajiban pemegang IUP atau IUPK sebagalmana
dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah
mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 122 . . .
PHESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 122
(1) IUP atau IUPK yang telah dikembalikan, dicabut, atau
habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 1 dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) WIUP atau WIUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditawarkan kepada
badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui
mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 123
Apabila IUP atau IUPK berakhir, pemegang IUP atau lUPK
wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil
eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
BAB XVI
USAHA JASA PERTAMBANGAN
Pasal 124
(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan
jasa pertarnbangan lokal dan/ atau nasional.
(2) Dalam ha1 tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)) pemegang ITJP atall
IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan
lain yang berbadan hukum Indonesia.
(3) Jenis usaha jasa pertambangan meliputi:
a. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian
peralatan di bidang:
1) penyelidikan umum;
2) eksplorasi;
3) studi kelayikan;
4) konstruksi pertambangan;
5) pengangkutan;
6) lingkungan pertambangan;
7) pascatambang dan reklamasi; dan/ atau
8) keselamatak dan kesehatan kerja.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di
bidang :
1) penambangan; atau
2) pengolahan dan pernurnian.
Pasal 125
(1) Dalam ha1 pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa
pertambangan, tanggu~lg jawab kegiatan usaha
pertambangan tetap dibebankan kepada perrlegang IUP
atau IUPK.
(2) Pelaksana usaha jasa pertambangan dapat berupa badan
usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai dsngan
klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh
Menteri.
(3) Pelaku usaha jasa pertambangan wajib meng~~tamaltan
kontraktor dan tenaga kerja lokal.
Pasal 126
(1) Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak
perusahaan dan / atau afiliasinya dalam bidang usaha j asa
pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang
diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri.
(2) Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan apabila:
a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis
di wilayah tersebut; atau
b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang
berminat/ mampu.
Pasal 127
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha jasa
pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal
125, dan Pasal 126 diatur dengan peraturan menteri.
BAB XVII
PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH
Pasal 128
(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar peridapatm
negara dan pendapatan daerah.
(2) Pendapatan . . .
(2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara
bukan pajak.
(3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tcrdiri atas:
a. pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang perpajakan; dan
b. bea masuk dan cukai.
(4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdiri atas:
a. iuran tetap;
b. iuran eksplorasi;
c. iuran produksi; dan
d. kompensasi data informasi.
(5) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. pajak daerah;
b. retribusi daerah; dan
c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 129
(1) Pernegang lUPK Operasi Produksi untuk pertambangan
mineral logam dan batubara wajib membayar sebesar (1%
(empat persen) kepads. Pemerintah dan 6% (enam persen)
kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak
berproduksi.
(2) Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1%
(satu persen);
b. pemerintah kabupatenlkota penghasil mendapat
bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan
c. pernerintah kabupatenl kota lainnya da lam provinsi
yang sama mendapat bagian sebesar 2,596 (dua koma
lima perseri).
Pasal 130 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 130
(1) Pemegang IUP atau IlJPK tidak dikenai iuran produksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c
dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 128 ayat (5) atas tanahlbatuan
yang ikut tergali pada saat penambangan.
(2) Pemegang IUP atau IUPK dikenai iuran produksi
sebagaimana diinaksud dalam Pasal 128 ayat (4) humf c
atas pemanfaatan tanahlbatuan yang ikut tergali pada
saat penambangan.
Pasal 131
Besarnya pajak dan penerimaan negara bukarl pajak yang
dipungut dari pemegang IUP, IPR, ata-u IUPK ditetapka.n
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 132
( 1) Besaran tarif iuran produksi ditetapkan berdasarkan
tingkat pengusahaan, produksi, dan harga kornoditas
tambang.
(2) Besaran tarif iuran produksi sebagaimana dimaks'ud
pada ayat ( 1) ditetapkan berdasarkan ket.entuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 133
(1) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dirnaksud
dalam Pasal 128 ayat (4) merupakan pendapatan negara
dan daerah yang pembagiannya ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penerimaan negara bukan pajak yang merupakan bagian
daerah dibayar langsung ke kas daerah setiap 3 (tiga)
bulan setelah disetor ke kas negara.
BAB XVIII
PENGGUNAAN TANAH UNTUK ICEGIAT'AN USAHA PERTAMBANGAPJ
Pasal 134
(1) Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas
tanah permukaan bumi.
(2) Kegiatan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat djiaksanakan
pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan
usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
(3) Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapat izin
dari instansi Pemerintah sesuai dengan keterlt uan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 135
Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat
melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan
dari pemegang hak atas tans-h.
Pasal 136
(1) Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan
operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah
dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.
Pasal 137
Pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
135 dan Pasal 136 yang telah melaksanakan penyelesa.ian
terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas tanah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangaii.
Pasal 138
Fak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan pemilikan
hak atas tanah.
BAB XIX . . .
PRESIDEN
REPUBLlK INDONESIA
BAB XIX
PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 139
(1) Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksariakan oleh
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatenl kota
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pemberian pedoman clan standar pelaksailaan
pengelolaan usaha pertambangan;
b. pemberian bimbiiigan, supervisi, dan konsultasi;
c. pendidikan darl pelatihan; dan
d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemarltauan,
dan evalua.si pelaksanaan penyelenggaraan usaha
pertambangan di bidang mineral dan batubara.
(3) Menteri dapat melimpahkan kepada guberngr untuIr
melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraa-n
kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambaiigan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanaltan
oleh pemerintah kabupatenl kota.
(4) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuaj dengan
kewenangannya bertanggung jawab melakukan
pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPH,
atau IUPK.
Pasal 140
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang
dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemenritah
kabupatenl kota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksariakan
oleh pemerintah kabupaten/ kota.
(3) Meiiteri
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Menteri, gubernur, dan bupati/ walikota sesuai dengan
kewenangannya melakukan pengawasan atas
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang
dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal 14 1
( 1) Pengawasan sebagairnana dimaksud dalam Pasal 140,
antara lain, berupa:
a. teknis pertarnbangan;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. pengolahan data mineral dan batubara;
e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;
f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambanga.n;
g. keselamatan operasi pertambangan;
h. pengelolaan lingkungan hidup, reklarnasi, dan
pascatambang;
i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kema~npuan
rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
j . pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;
k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
setempat;
1. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi
pertambangan;
m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha
pertambangan yang menyangkut kepentinga~lu mum;
n. pengelolaan IUP atau IUPK; dan
o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangar\.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf 1
dilakukan oleh inspektur tambang seslaai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3) Dalam ha1 pemerintah daerah provinsi atau pemerintah
daerah kabupatenl kota belum mempunyai inspektur
tambang, Menteri menugaskan inspektur tambang yang
sudah diangkat untuk melaksanaan pembii-laan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 142 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 142
(I) Gubernur dan bupati/walikota wajib melaporkan
pelaksanaan usaha pertambangan di wilayzhnya masingmasirig
sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan
kepada Menteri.
(2) Pemerintah dapat memberi teguran kepada pemerintah
daerah apabila dalam pelaksanaan kewenangannya tidak
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 143
(1) Bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap usaha pertambangan rakyat.
(2) Ke tentuan lebih lanjut mengenai pembinaan darl
pengawasan pertambangan rakyat diatur deilgan
peraturan daerah kabupatenl kota .
Pasal 14.4
Ketentuan le bih lanjut mengenai standar dan prosedu r
pembinaan serta pengawasan sebagaimana dimaksud dala~n
Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, dan Pasal 143
diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Perlindungan Masyarakat
Pasal 145
Masyarakat yang terkena dampak negatif langsu~lg dari
kegiatan usaha pertambangan berhak:
a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan
dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undsngan.
b. mengajukan gugatan kepada pengadjlan terhadap
kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang
menyalahi ketentuan.
(2) Ketentuan mengenai perlindungan masyara kat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangnn.
RAB XX . . .
FRESICEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB XX
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Bagian Mesatu
Penelitian dan Pengembangan
Pasal 146
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendorong,
melaksanakan, danlatau memfasilitasi pelaksanaar~ penelitian
dan pengembangan mineral dan batubara.
Bagian Kedua
Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 147
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib nlendorong,
melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan di bidang pengusahaan mineral dan
batubara.
Pasal 148
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.
BAB XXI
PENYIDIKAN
Pasal 149
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia,
pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pertambangan diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran 1apora.n atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam
kegiatan usaha pertambangan;
b. melakukan . .. .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atall badari
yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan
usaha pertambangan;
c. memanggil d an/ atau mendatangkan secara paksa
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai salcsi atau
tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usal~a
pertambangan;
d. menggeledah tempat dan/ atau sarana yang diduga
digunakan untuk melakukan tindak pidana da.1a.m
kegiatan usaha pertambangan;
e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana
kegiatan usaha pertambangan dan mer~ghentikan
penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana;
f. menyegel dan / atau menyita alat kegiatan usaha
pertambangan yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana sebagai alat bukti;
g. mendatangkan dan/ atau meminta bantuan tenaga ahli
yang diperlukan dalam hubungannya derlgan
pemeriksaan perkara tindak pidana dalam ke5iatan
usaha pertambangan; danlatau
h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana
dalam kegiatan usaha pertambangan.
Pasal 150
(1) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 149 dapat menangkap pelaku tindak pidana
dalam kegiatan usaha pertambangan.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dirrlaltsud pada
ayat (1) rnemberitahukan dimulai penyidikan dan
menyerahkan hasil penyidikannya kepada pejabat polisi
negara Republik Indonesia sesuai dengall ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Peilyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam ha1
tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan
merupakan tindak pidana.
(4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimalcsud pada
ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan .
BAB ,=I1 . . .
PRESIDEN
REPUBLiK INDONESIA
BAB XXII
SANKSI ADMINlSTRATIF
Pasal 15 1
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif'
kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 4 1, Pasal 43, Pasal 70, Pasal
7 1 ayat (I), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81
ayat (I), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97,
Pasal98, Pasal99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal
105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4),-Pasal 107, Pasal 108 ayat
(I), Pasal 1 10, Pasal 1 1 1 ayat (I), Pasal 1 12 ayat (I), Pasal
1 14 ayat (2), Pasal 1 15 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal
126 ayat (I), Pasal 128 ayat (1)) Pasal 129 ayat (11, atau
Pasal 130 ayat (2).
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh
kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan /atau
c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal 152
Dalam ha1 pemerintah daerah tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 1 dan hasil evaluasi
yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf j, Menteri dapat menghentikam
sementara dan/atau mencabut IUP atau IPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 153
Dalam ha1 pemerintah daerah berkeberatan terhadap
penghentian sementara dan/atau pencabutan IUP dan IPR
oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152,
pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 154
Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR,
atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase
dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 1 5 5 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 155
Segala akibat l~ukum yang timbul karena penghentian
sementara dan/atau pencabutan IUP, IPR atau IUPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 1 ayat (2) huruf b dan
huruf c diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 5 1, dan
Pasal 152 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 157
Pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai sanksi
administratif berupa penarikan sementara kewenangan atas
hak pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara.
BAB XXIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 158
Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP,
IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal
40 ayat (3), Pasal 18, Pasal 67 ayat (I), Pasal 74 ayat (1) atau
ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1.0
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 159
Pemegang IUP, IPH, atau IUPK yang dengan sengaja
menyampaikan laporan sebagaimana dirnaksud dalani Pasal
43 ayat (I), Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat (I), Pasal 105 ayat
(4), Pasal 110, atau Pasal 11 1 ayat (1) dengan tidak benar
atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun clan denda
paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 160 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 160
(I) Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa rr~emiliki
IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi
melakukan kegiatan operasi produksi dipjdana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lirria) tahun dam
denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
Pasal 161
Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau PUPK
Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,
penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang
IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalarn Pasai 37,
Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 aya t (l),
Pasal 74 ayat (I), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal
104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegjatan
usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPIC yang telah
lnemenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan palirig lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 163
(1) Dalam ha1 tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pjdana
penjara dan denda terhadap pengul-usnya, pidana yang
dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa
pidana denda dengan pemberatan ditambah 1 /3 (sat11 per
tiga) kali dari ketentuari maksimum pidana denda yang
dijatuhkan.
(2) Selairi . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
( 1)) badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/ atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 164
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158,
Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161, dan Pasal 162 kepada pelaku
tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan
tindak pidana;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana; danl atau
c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak
pidana.
Pasal 165