Friday, January 29, 2010

Ini harus lebih tegas, bukan hanya mengurangi jumlah KP

Berita Kompas tanggal 30/01/2010.



KASUS BATU BARA
Kuasa Pertambangan Segera Ditertibkan

Sabtu, 30 Januari 2010 | 02:36 WIB

Jakarta, Kompas - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan segera menertibkan ribuan izin kuasa pertambangan yang telah diterbitkan pemerintah daerah dalam 10 tahun terakhir. Hal ini akan dilakukan setelah empat peraturan pemerintah turunan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara diberlakukan.

”Kami akan menertibkan perizinan kuasa pertambangan (KP),” kata Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Kementerian ESDM Bambang Setiawan, Jumat (29/1), seusai pelantikan pejabat eselon II Kementerian ESDM di Jakarta.

Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh menyatakan, secara formal hukum Menteri Kehutanan lebih tahu mana saja kegiatan penambangan di lokasi yang tidak diperkenankan. ”Kami tidak pro pada pelanggaran di lahan buat kawasan hutan. Masalah ini dibahas lintas sektoral,” ujarnya.

Bambang menambahkan, sejak UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) diberlakukan, pemda mulai melaporkan izin KP yang telah diterbitkan. ”Sebelum ada UU, KP yang tercatat di pusat hanya sekitar 2.000, sekarang naik jadi 8.400 KP,” kata Bambang.

Kini Kementerian ESDM mulai melaksanakan proses registrasi. Registrasi tidak akan diterbitkan jika KP terbukti melanggar aturan, misalnya tidak melaksanakan kegiatan eksplorasi dan tidak mengantongi sertifikat analisis dampak lingkungan. Jika ada tiga KP di satu lokasi, harus dipilih salah satu. ”Kami melakukan pendekatan persuasif, minta agar diperbaiki atau dicabut jika langgar aturan,” ujarnya.

”Dengan UU ini, karut-marut wajah pertambangan diharapkan bisa dibenahi, termasuk menertibkan kuasa pertambangan luas 20-50 hektar. Bagaimana bisa mengelola lingkungan kalau luas lahan sempit,” ujarnya. Dalam UU itu ada sanksi pidana bagi pengusaha dan pemberi izin KP, izin juga harus diberikan secara transparan dan melalui lelang.

Begitu 4 rancangan peraturan pemerintah sebagai penjabaran UU Minerba ditandatangani Presiden, semua aturan itu mulai diterapkan. ”Kami akan bersama-sama mengatasi penambangan ilegal, menginventarisasi daerah mana yang jadi prioritas, mana saja pemilik KP yang tidak bayar royalti,” katanya.

Dalam 10 tahun terakhir, sejak otonomi daerah, jumlah KP meningkat pesat, banyak di antaranya yang melanggar aturan, tumpang tindih dengan KP lain, merambah ke hutan konservasi. ”Ini masa sulit mengerem pemberian kuasa pertambangan,” ujar Bambang.

Normatif

Kepala Pusat Informasi Kehutanan pada Kementerian Kehutanan Masyhud MM yang dihubungi dari Banjarmasin, kemarin, memberi penjelasan normatif. ”Tidak boleh ada penambangan di kawasan hutan kalau tidak ada izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan,” ujarnya.

Kementerian Kehutanan, katanya, hanya mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan di Kalimantan untuk 149 perusahaan pertambangan dengan luas 338.626 hektar. Karena itu, jika ada kegiatan pertambangan dengan izin dari kepala daerah setempat berada di kawasan hutan, lebih-lebih di hutan lindung, bisa dipastikan ilegal.

Mashyud menjelaskan, dari 149 perusahaan tersebut, sebanyak 74 izin berada di Kaltim dengan luas hutan 224.604 hektar, Kalsel 53 izin dengan luas 66.105 hektar, Kalteng 15 izin dengan luas 35.426 hektar, dan Kalbar 7 izin seluas 12.492 hektar. ”Sebagian besar untuk pertambangan batu bara,” katanya.

Menurut Masyhud, ribuan izin yang dikeluarkan bupati/wali kota tersebut, apabila lahannya berada di kawasan hutan, harus mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan. Jika tidak, kegiatan pertambangannya ilegal.

Masyhud juga menegaskan, telah terbentuk tim gabungan dari Kementerian Kehutanan, Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, dan kejaksaan untuk melakukan koordinasi menangani permasalahan pelanggaran hukum terkait pertambangan di Kalimantan. (FUL/BRO/EVY

Thursday, January 28, 2010

Hasil tambang = kekayaan untuk rakyat Indonesia





Tulisan di bawah ini saya sikapi dengan berbagi cerita pengalaman pribadi yang bersangkutan dengan berita di koran Kompas pada hari yang sama seperti tertera di kedua link berikut:

1. http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/28/03090818/tiga.hari.muara.teweh.gelap.massa.merusak.kantor.pln

2.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/28/03145536/izin.perlu.dievaluasi

Anwari Doel Arnowo - 28 Januari, 2010.

LISTRIK DAN BATUBARA

Suatu saat pada awal tahun 1992an, saya sedang duduk di sebuah bukit tempat pariwisata di Thailand Utara di kawasan propinsi Lampang. Terlihat di sekeliling saya berdatangan orang-orang awam, rakyat biasa, berpakaian liburan. Menarik pandangan mata saya untuk beralih melihat serombongan Bhiksu yang turun beraturan dari sebuah bus yang khusus guna mengangkut mereka.

Udara jernih, segar, langit terang, pandangan mata mencapai jauh sampai ke horizon.

Jernih, segar dan ... horizon? Ah ada yang kurang pas di sini. Apa?

Saya lihat tidak terlalu jauh dari tempat saya berada, asap mengepul tebal ke udara. Asal mula asap tebal hitam keabu-abuan itu dari tiga cerobong asap yang besar dan tinggi. Saya bersama dengan tiga orang geologist yang bahasa Indonesianya ahli geologi, asal Thailand yang mengantarkan saya ke mana-mana, berhari-hari lamanya, sejak dari Chiang Mai ke Bangkok, naik mobil melalui tambang-tambang batubara milik sebuah perusahaan Thailand yang besar di mana ketiga ahli geologi itu bekerja dan telah sekian tahun lamanya menjadi karyawan. Saya tanyai mereka itu asap dari pabrik apa?? Mereka menjawab bangga berebutan: itu sebuah Power Plant yang disebut dengan nama Mae Moh, berkapasitas 200(?) Mega Watt. Dan lain-lain informasi mengenai pabrik listrik ini. Yang saya catat dengan baik di otak saya adalah, power plant ini adalah coal fired, pembangkit listrik dengan batu bara yang paling rendah kadar kalorinya (jenis lignite) sebagai bahan bakar utama. Lignite dapat digolongkan ke dalam batubara yang kadarnya rendah mendekati kadar dari gambut (peat), silakan simak dan membaca: http://en.wikipedia.org/wiki/Lignite.

Sesuatu seperti bunyi klik sebuah tombol, berbunyi dan terdengar nyaring di kepala dan akal saya. Lignite, begitu rendah kalorinya sampai jarang dibicarakan dan tidak dilirik oleh siapapun mereka, yang pada waktu itu berusaha di bidang perdagangan maupun penambangan komoditi batubara, agar bisa menghasilkan listrik. Mereka hanya melirik yang nilai-kalori(calorific value)nya minimum 5000 kalori.

Sudah lebih lima belas tahun lamanya saya sedih kalau mendengar orang berdagang batubara yang membanggakan nilai kalorinya 5500 sampai 7000. Siapapun dia, kalau saja memiliki ijin menambang dengan sah dan benar, maka dia akan menambang yang disukainya saja, yang nilai kalorinya sekitar 6000 sampai 7000 saja. Jangan-jangan yang lain, rendah kalorinya, diabaikan saja. Yang begini istilahnya adalah high grading (menambang yang tinggi nilai kalorinya), yang berarti pasti akan merusak lingkungan. Seperti diketaui, menambang bahan galian tambang dari kedalaman seperti biasanya tambang batubara dan mineral, disyaratkan harus melakukan reklamasi pada tahap akhir dari kegiatan menambang, sehingga mendekati keadaan asli seperti keadaan awal sejak sebelum dilakukan penggalian.

Di sinilah kunci “benar dan salah” dalam periode setelah selesai menambang nanti.

Menambang batubara atau mineral adalah one way traffic (satu arah) saja. Menggali, melakukan penambangan, mengangkut hasil tambang ke luar dan mereklamasi. Tahapan terakhir ini amat sering dilupakan atau pura-pura lupa, membiarkan lubang-lubang bekas penambangan begitu saja, tanpa reklamasi. Pak Bupatinya lengah, petugas Lingkungan Hidup juga mungkin tidak melirik. Kasihanilah anak dan cucu kita, our future Indonesians – yang saat ini disebut dengan istilah tunas bangsa.

Mereka akan mengenyam ketidak-nyamanan hidup.

Apa sebab??

Pada jaman mereka nanti, batubara kelas tinggi kalori sudah habis karena high grading yang serakah yang merupakan sikap tidak peduli dari kakek moyangnya, yakni kami ini, pada saat sekarang!! Pada jaman mereka nanti mungkin akan sudah ditemukan teknologi baru yang bisa dipakai untuk menggunakan pemanfaatan lignite, menggunakan gambut bahkan ban-ban mobil yang bekas, serta bahan bakar lain untuk menggerakkan turbin pemutar generator pembangkit listrik. Pada saat sudah diketaui ada sisa-sisa low grade coal di bawah tanah reklamasi, mungkin saja tidak bisa ditambang dengan serta merta, antara lain sebab paling mungkin adalah Kementerian Kehutanan tidak akan mengijinkan, karena di atas tanah di situ mungkin sudah ada hutan produksi. Meskipun Penambangan bawah tanah (underground) akan mungkin dilakukan, bisa juga akan berpotensi merusak hutan industri itu. Karena inilah kegiatan menambang batubara saya sebut tadi adalah one way traffic karena hanya bisa sekali jalan karena tidak ada regenerasi di dalam bahan galian tambang. Hasil tambang biasa dimasukkan ke adalah kategori habis pakai. Apalagi ditambah adanya fakta bahwa proses batubara terbentuk setelah melalui proses yang amat lama, sekitar TIGA RATUS JUTA TAHUN lamanya.

Untuk catatan saja: batubara telah dikenal sejak 4000 tahun sebelum Masehi di China (di kawasan Shenyang) dan Dinasti Han (206 sebelum Masehi) dan di telah mulai menggunakan batubara jenis lignite sebagai bahan bakar. 2000 s/d 3000 tahun sebelum Masehi di Inggris juga sudah ditengarai digunakan untuk upacara penguburan. Bentukan batubara yang sekian lama itu hanya akan diboroskan manusia dalam kurang dari dua atau tiga ratus tahun saja, sejak orang Eropa dan Amerika Serikat serta Kanada telah melakukannya pada hampir dua ratus tahun yang lalu?? Dan kita mau bersinergi dengan kesalahan-kesalahan mereka itu?? Apakah akan kita ulangi kesalahan demi kesalahan sampai kita tidak berdaya, menuruti keserakahan sesaat??

Sudah saatnya kita mengurangi bahkan menghentikan ekspor batubara, karena kita sendiri amat membutuhkannya dalam masa depan yang dekat sekali, demi kelangsungan kehidupan berbangsa. Ini berlaku untuk minyak. Batalkan kontrak yang ada dan membayar ganti rugi karenanya. Jumlah ganti rugi untuk pembatalan ini pasti akan lebih menguntungkan daripada kita mengimportnya kembali sekarang ini seperti minyak, juga batubara dan komoditi lainnya selain mineral dan hasil tambang apapun. Pantaskah misalnya garam yang ada di pasar sekarang, sekitar 50% adalah garam import? Apakah air laut kita sudah menjadi tawar??

Mari kita periksa kesalahan di Mae Moh pada saat ini.

Dua puluh tahun yang lalu, saya lihat di Mae Moh tiga cerobong asap yang menjalankan pembangkit listrik kapasitas 200 Mega Watt, dan saya hanya berkomentar langit jernih, segar dan jauhnya garis horizon. Tetapi adanya perkembangan kemajuan peradaban manusia di Thailand hanya di dalam tempo kurang dari 20 tahun, telah mengubah kemampuan Mae Moh Power Plant menjadi sebuah kompleks yang menghasilkan listrik 2300 lebih MW, sepuluh kali lebih banyak dari kapasitas awal. Sekarang terlihat sembilan cerobong kecil-kecil dan satu yang besar, menghasilkan polusi yang hebat, sehingga mendapat hukuman dari pengadilan. Apa yang telah terjadi secara hukum? EGAT (Electricity Generating Authority of Thailand) yaitu sama dengan PLN (Perusahaan Listrik Negara) kita di Indonesia, dihukum oleh putusan pengadilan Thailand untuk memberi ganti rugi kepada mereka yang tergusur, yang juga terkontaminasi dan mengalami penderitaan karena terjadinya polusi di sekitar Mae Moh. Ini adalah urusan salah kaprah karena telah ceroboh melanggar urusan pemeliharaan Lingkungan Hidup. Kepada setiap penduduk harus diberikan antara lain kompensasi senilai tujuh ribu Dollar AS untuk relokasi tempat tinggal mereka sejauh sedikitnya lima kilometer dari Mae Moh. EGAT juga diharuskan merehabilitasi kawasan Mae Moh, dipaksa menanami kembali pohon-pohon di seluruh daerah yang tadinya adalah sebuah daerah yang telah disulap menjadi lapangan golf. Sekarang lapangan golf itu diwajibkan untuk dihutankan kembali. Itu semua gara-gara operasi sejak tahun 1992an sampai 1998an telah menyebabkan udara sudah dicemari oleh belerang dioksida yang melebihi ambang 780 microgram per meter kubik. Hal ini dapat dibaca di: http://www.accessinitiative.org/blog/2009/03/access-justice-mae-moh-lignite-power-plant-thailand.

Sepulang saya ke Indonesia dari meninjau Mae Moh, saya sering sekali membicarakan serta mengusahakan pemanfaatan batubara berkalori rendah untuk membangun power plant-power plant skala kecil sekitar satu MW sampai lima MW di Kalimantan dan Sumatera, agar menghasilkan listrik-listrik untuk daerah-daerah kecil setingkat Kecamatan dan Kabupaten. Saya dengar, waktu itu sebuah perusahaan kayu di dekat kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, ada yang telah memiliki sebuah pembangkit listrik yang berukuran satu megawatt dan kelebihan kebutuhan kapasitasnya bisa di jual kepada rakyat di sekitarnya. Dalam benak saya, waktu itu sekitar tujuh belas tahun yang telah silam, Kalimantan masih berpenduduk sedikit sekali dan amat memerlukan tenaga manusia untuk mengembangkan perekonomian setempat. Tentu saja saya berpikir bahwa bila dapat dilaksanakan pembangunan pembangkit listriknya, maka tidak boleh melupakan masalah yang menyangkut lingkungan hidupnya. Keuntungan membangun pembangkit listrik di mulut tambang berskala kecil ini adalah: utamanya tidak usah mengangkut batubara dari mulut tambang keluar dari daerah tersebut, tetapi langsung bisa membakarnya di dekat tambang. Hasilnya berupa listrik dapat dialirkan melalui kabel distribusi ke arah sekeliling daerah Kecamatan atau Kabupaten saja. Kendala paling utama ternyata adalah masalah penjualan listriknya ke konsumen, waktu itu, karena ada keharusan melalui PLN. Yang begini bagi para calon pengusaha bukan hal menarik, karena banyaknya korupsi di tubuh PLN menjadikan bisnis ini amat tidak menjanjikan iklim investasi. Saya anjurkan diganti saja undang-undangnya mengenai penjualan listrik.

Mengapa bensin bisa, dan listrik tidak?

Bukankah sekarang sudah ada pompa bensin Shell dan Petronas serta perusahaan asing yang lain. Mengapa menjual listrik saja harus BUMN? Bukankah faktanya BUMN itu tidak manusiawi, contohnya: bayar terlambat dari batas tanggal langsung dimatikan, tetapi pemadaman PLN tidak membayar ganti rugi kepada konsumen. Bahkan tindakan pemadaman tidak disertai pemberi tauan terlebih dahulu.

Memang saya akui saya tidak dapat terus berkonsentrasi di dalam usaha saya di bidang batubara, oleh karena perkembangan usaha saya di bidang tambang mineral lebih cepat mendesak untuk ditekuni dan dilakukan segera. Jadi saya terpaksa meninggalkan usaha saya di bidang energi. Saya pernah juga mengunjungi sebuah Power Plant yang berukuran lebih dari 4000 megawatt di Hongkong, yang juga menjual listriknya sebagian besar ke Republik Rakyat China. Lokasinya terletak di tepi laut akan tetapi terletak dikelilingi oleh lereng-lereng gunung dan hunian yang modern serta bersih. Padahal selama ini image sebuah power plant adalah sebagai penyumbang polusi. Power Plant ini besar dalam kapasitas produksi listriknya, bisa ditengarai dengan siapa yang telah meresmikannya pembukaannya: Perdana Menteri Inggris: Margareth Thatcher.

Oleh karena hari ini tanggal 28 Januari, 2010, Presiden RI meresmikan pembukaan sebuah pembangkit Listrik baru di Banten, Labuan 2 berkapasitas dua kali tiga ratus megawatt, dan secara resmi masuk dalam tahap pengujian sampai bulan Maret yang akan datang. Dalam waktu bersamaan secara tele conference juga diresmikan pembukaan pembangkit listrik di Tapanuli bernama labuhan Angin dengan kapasitas dua kali seratu lima belas megawatt. Pembangkit Labuan 1 sudah beroperasi sejak Juli 2009 dan sudah masuk ke interkoneksi Jawa-Bali. Semua ini dalam upaya ikut menunjang program pembangunan pembangkit sepuluh ribu megawatt tahap satu dan tahap dua.

Saya sendiri masih memimpikan sebanyak mungkin power plant berukuran kecil yang memanfaatkan lignite atau gambut dibangun di seluruh Kalimantan, sebanyak mungkin dan semua kelebihan produksinya, setelah secara sepenuhnya bisa di-disitribusi-kan ke seluruh pelosok Kalimantan, disalurkan melalui sebuah fasilitas kabel di dasar Laut Jawa disalurkan dan di-distribusi-kan ke Jawa dan Bali. Jalurnya sudah pernah saya tinjau sendiri berujung di daerah Asam-Asam di dekat Pelaihari, Kalimantan Selatan, dan mengarah ke ujung Timur Pulau Madura. Menurut perkiraan saya, jarak tersebut adalah sekitar 250 kilometer. Hal itu bukan masalah mudah dan murah, juga harus disadari bahwa mengalirkan listrik dari Arus Bolak-Balik ke kabel laut harus diubah dulu menjadi Arus Satu Arah dan ketika kembali memasuki tempat tujuan maka harus dikembalikan menjadi Arus Bolak-Balik. Masalah pembiayaan memang menyangkut angka yang besar sekali karena menurut penyelidikan saya waktu itu, kabel laut itu biayanya adalah sekitar sepuluh juta USDollar per kilometer, belum termasuk sarana-sarana penunjangnya. Mengapa saya impikan hal ini? Itu karena Kalimantan masih lebih mudah dalam mengatur masalah Lingkungan Hidupnya dari pada pengaturan di pulau Jawa. Submarine cable (kabel bawah laut) seperti itu telah ada di mana-mana, bahkan di Hong Kong ke China juga ada di Lake Ontario Kanada ada juga ke arah Amerika Serikat) yang panjangnya lebih dari sepuluh kilometer. Menurut bacaan yang pernah saya tekuni di pulau Corsica ke daratan ada juga submarine cable seperti ini sepanjang 200 kilometer, sejak puluhan tahun lamanya.

Dalam kesempatan saya berkali-kali ke Kalimantan, sering saya jalani dengan berjalan kaki di hutan-hutan dan naik perahu kecil atau kelotok serta speedboat dan terapung di sungai-sungai besar dalam hitungan harian. Masuk keluar hutan perawan juga saya lakukan. Naik pesawat British Norman atau pesawat-pesawat kecil seukuran Beachcraft, penumpang 8 orang dan satu pilot, menyebabkan saya juluki dengan DC-9 yang saya kutip dengan lafal Bahasa Indonesia campur Inggris: DIISI NINE atau DIISI SEMBILAN. DC-Nine sesungguhnya berpenumpang sepuluh kali lipat. “Beselancar” di dalam helicopter juga sering saya lakukan.

Pada suatu saat group perusahaan tempat saya bekerja menggunakan jasa seorang ahli geologi yang ulung, berkebangsaan Kanada akan tetapi bertempat tinggal di Amerika Serikat, bernama B. Jones. Berdua saja dengan Jones ini, suatu saat saya berada di atas daerah bagian Selatan dari Kalimantan Tengah dan melalui daerah Pelaihari, agak lama di atas daerah yang penuh rawa-rawa. Bung Jones ini sambil menunjuk ke arah rawa-rawa itu, berkata kepada saya: “Mr. Arnowo, look at those swamps. Nobody give attention to those swamps. I predict that someday, people will dig their shovel underneath those, to find minable materials, it could be gold but it could be also coal” -- Pak Arnowo, lihatlah ke rawa-rawa itu. Tidak ada orang yang memperhatikan rawa-rawa tersebut. Saya duga bahwa pada suatu hari, orang akan menancapkan sekopnya di bawahnya (rawa-rawa) dan menemukan galian tambang yang mungkin berupa emas atau batubara. Mula-mula saya berpikir, ah banyak ahli geologi kan pemimpi, apa benar seperti itu si Jones ini?? Tetapi setelah bergaul berminggu-minggu kemudian di hutan-hutan dan dilokasi-lokasi berlainan, juga melihat cara kerjanya, saya tidak menganggap sepélé kata-katanya di atas. Apalagi Jones ini kita datangkan dengan biaya mahal, seluruh transportasi dan biaya hidup serta semua fasilitas dari ijin-ijin dan penggunaan biaya laboratorium menjadi tanggungan perusahaan, serta gaji dia yang setiap hari adalah US$ 500,--, ini di luar out of pocket money.

Semoga anak-anak dan cucu-cucu kita masih bisa menikmati warisan baik yang bisa tertinggal untuk membantu kehidupan mereka, kalau kita semua telah tiada lagi di dunia ini.

Anwari Doel Arnowo

Kamis, 28 Januari 2010

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/28/03090818/tiga.hari.muara.teweh.gelap.massa.merusak.kantor.pln

KRISIS LISTRIK

Tiga Hari Muara Teweh Gelap, Massa Merusak Kantor PLN

Kamis, 28 Januari 2010 | 03:09 WIB

Banjarmasin, Kompas - Sebagian kaca kantor dan rumah dinas di Kantor PT PLN Muara Teweh, ibu kota Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, hancur akibat dirusak warga, Selasa (26/1) malam. Perusakan dengan pelemparan batu dan benda keras lain itu diduga pelampiasan kemarahan warga saat berunjuk rasa untuk memprotes terjadi pemadaman listrik bergilir selama 18 jam.

M Rosadi, warga Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, kepada Kompas, Rabu (27/1), mengatakan, aksi unjuk rasa ke Kantor PLN berlangsung dalam tiga malam terakhir sejak Senin (25/1). ”Warga protes karena dalam sehari listrik menyala cuma enam jam. Kondisi ini membuat sejumlah kegiatan warga terganggu,” katanya.

Menurut Rosadi, warga marah karena sebelum terjadi pemadaman selama 18 jam dalam tiga hari terakhir ini, aliran listrik di Muara Teweh juga selalu dua hari sekali. Kondisi itu membuat pengeluaran warga untuk menyediakan penerangan listrik, seperti memakai generator set (genset), menjadi bertambah.

”Di Muara Teweh harga bensin eceran mencapai Rp 5.500 atau lebih mahal daripada harga normal Rp 4.500 per liter. Jika memakai genset semalaman saja memerlukan 4 liter bensin. Sebulan terakhir saya sudah mengeluarkan Rp 500.000 hanya untuk menghidupkan genset,” katanya.

Tambahan

Kepala Bagian Humas PLN Kalsel dan Kalteng Anggraeni, yang dihubungi di Banjarbaru, mengatakan, pihaknya menerima informasi dari PLN Muara Teweh bahwa pada Rabu kemarin sudah ada tambahan pembangkit listrik 0,5 megawatt (MW) dari PLN Buntok, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, untuk mengatasi krisis listrik di daerah itu.

Sementara terjadinya pemadaman listrik yang berlangsung lama dalam tiga hari terakhir, ungkap Anggraeni, disebabkan kerusakan di satu unit pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) berkapasitas 1 MW. Satu unit lainnya, dengan kapasitas yang sama, saat ini dalam kondisi turun mesin (overhaul).

”Mesin yang overhaul diperkirakan sudah bisa beroperasi lagi dua minggu hingga tiga minggu mendatang. Sementara pembangkit yang sedang dalam perbaikan diharapkan dalam beberapa hari mendatang sudah normal kembali,” kata Anggareni.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/28/03145536/izin.perlu.dievaluasi

Izin Perlu Dievaluasi

PAD Kalsel dari Batu Bara Tidak Sampai Rp 1 Triliun

Kamis, 28 Januari 2010 | 03:14 WIB

Banjarmasin, Kompas - Sebagian besar warga Pulau Kalimantan, pulau terbesar penghasil batu bara di Indonesia, hingga kini belum menikmati listrik murah. Ribuan desa di pulau itu bahkan masih gelap pada tahun ke-65 Republik Indonesia ini.

”Ribuan desa di Kalimantan yang belum berlistrik membuktikan masih minimnya penyediaan energi untuk rakyat. Padahal, produksi batu bara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur saja mencapai 200 juta ton per tahun,” kata Berry Nahdian Furqan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Selasa (26/1) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Berry menyebutkan, dari produksi batu bara sebanyak itu, hanya sekitar 2 persen yang digunakan untuk pembangkit listrik di Kalimantan. Lebih dari 70 persen diekspor dan 28 persen lainnya dikirim untuk kebutuhan listrik di Jawa dan Sumatera.

”Ini memprihatinkan. Rakyat Kalimantan yang menanggung kerusakan lingkungan akibat penambangan batu bara tidak banyak menikmati listrik. Bahkan, masih krisis listrik,” kata Berry.

Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak sependapat dengan Berry. ”Kami berharap ada peraturan yang bisa membuat sumber daya alam Kaltim dipakai untuk kebutuhan listrik sendiri,” katanya.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Kahar Al Bahri, berkomentar lebih keras. Menurut dia, sebaiknya izin penambangan batu bara yang sudah dikeluarkan dievaluasi sebab penambangan yang sudah berlangsung tidak saja merusak lingkungan, dengan meninggalkan sejumlah besar lubang-lubang raksasa, tetapi juga tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

”Pengamatan kami, pertambangan gagal meningkatkan perekonomian masyarakat, bahkan menyisakan lingkungan yang hancur. Sekitar 102.000 orang dari 204.000 warga Kabupaten Kutai Timur, misalnya, saat ini tergolong miskin. Padahal, di situ beroperasi satu perusahaan tambang batu bara dengan produksi 35 juta ton per tahun,” ujarnya.

Saat ini, lanjut Kahar, hanya 35 desa dari 135 desa di Kutai Timur yang dialiri jaringan listrik.

Pengamat ekonomi lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat, Udiansyah, senada dengan Kahar. Menurut dia, hasil produksi batu bara yang masuk ke daerah hanya sebagian kecil. ”Dari nilai produksi batu bara Kalsel yang mencapai Rp 22 triliun, untuk produksi 80-100 juta ton per tahun, yang menjadi pendapatan asli daerah (PAD) tidak sampai Rp 1 triliun,” katanya.

Belum teraliri listrik

Sejumlah data menunjukkan, di Kalimantan saat ini terdapat 2.103 desa (31,35 persen dari 4.605 desa) yang belum mendapat pelayanan PLN. Di Kaltim, yang mengeluarkan 1.180 kuasa penambangan (KP) batu bara, tercatat 577 desa yang tidak berlistrik. Di Kalsel (penerbit 400-578 KP) terdapat 222 desa yang masih gelap. Di Kalimantan Tengah (penerbit 427 KP) terdapat 777 desa yang tanpa listrik, sedangkan di Kalimantan Barat (yang mengeluarkan 40 KP) ada 527 desa belum terlayani PLN.

Minimnya listrik yang dialirkan PLN di Kalimantan memaksa sebagian masyarakat menyediakan dana untuk membeli bahan bakar minyak, oli, dan perawatan genset. ”Pengeluaran setiap bulan untuk listrik rata-rata Rp 600.000,” kata Poniso Suryo, Camat Rantaupulung, Kutai Timur.(WER/FUL/BRO/AHA)

Wednesday, January 13, 2010

Emas-Logam Mulia - Aurum




Ini tercatat harga emas pada hari ini tanggal 13 Januari, 2010 : US$ 120o plus per Troy Ounce

Anwari Doel Arnowo – 31 Juli, 2009

EMAS

Seorang berasal dari suku Dayak yang telah lama saya kenal dan juga seluruh keluarganya, yang tinggal di tengah-tengah hutan di Kalimantan Tengah, saya lihat hari itu tidak bekerja dan diam-diam saja duduk mencangkung di depan tempat tinggalnya.

Saya tanya: “Tidak mendulang, Inan?”

“Tidak Bapaa ..” sahutnya pendek saja.

Saya memang tidak berbicara lebih jauh, karena saya tau, pasti ada alasan kuat mengapa dia tidak melakukan pekerjaan sehari-harinya, mendulang logam emas. Apa pasal rupanya? Kemudian sekali, pada suatu saat saya baru tau dari dia sendiri, bahwa pagi itu sebelum matahari terbit, dia ini, Inan, marah karena sesuatu hal dan berangkat ke tempat dia biasa mendulang. Di perjalanan dia ingat kembali kepada masalah itu, dan dia, yang sedang seorang diri tak sengaja mengeluarkan kata yang berupa makian dalam bahasa ibunya. Setelah sadar diri, dia melangkahkan kakinya kembali ke tempat tinggalnya dan duduk merenung. Dia telah menjalankan kepercayaan di lingkungan keluarganya bahwa apabila melakukan perbuatan tidak menyenangkan sewaktu sedang mengerjakan pekerjaan mendulang emas, maka sudah hampir dipastikan dia tidak akan berhasil mendapatkan hasil yang baik, maka itulah yang telah dikerjakannya. Dia tidak melanjutkan kerja rutinnya, karena dia berpendapat sesuai petuah yang didapatnya, dalam menambang logam mulia, maka sudah sepatutnya siapapun dia yang melakukannya juga harus bersikap sopan yang bersikap mulia pula. Orang seperti kita, orang kota, orang berpendidikan sekolah dan berperangai modern, boleh saja tertawa mengatakan bahwa Inan telah merugikan dirinya sendiri dengan tidak bekerja hari itu. Tetapi saya yakin akan percuma saja apabila kita bersusah-payah sekalipun untuk menyuruh dia menanggalkan atau meninggalkan semua adat istiadat yang amat dipegangnya dan didapatnya secara turun menurun dari moyangnya. Saya tau beberapa kepercayaan mereka yang lain, masih kuat sekali dijalankan, seperti halnya kakek moyang saya, orang asal dan dari ras Jawa pada jaman dahulu kala.

Ribuan tahun sebelum Masehi, manusia sudah mengenal logam ini, julukannya adalah logam mulia. Harganya selalu di puncak, memang nilainya mulia. Berat jenis logam ini angkanya adalah tertinggi dari sekian banyak mineral, yakni 13 koma 6. Dalam bahasa Sansekerta disebut dengan kata Jval, Bahasa Jepang menyebut dengan kata KIN (baca king), demikianpun dalam bahasa China dengan huruf yang sama: tetapi diucapkan dengan logat China Pinyin: SHEN JIN, bahasa Anglo-Saxon menyebut dengan kata gold, bahasa Latin menyebut dengan kata: aurum. Emas telah diketahui dan dinilai sangat tinggi sejak jaman purba / dahulu kala. Ditemukan unsur di alam sebagai logam tersendiri dalam tellurides (*). Emas tersebar sangat luas dan selalu diasosiasikan dengan quartz(**) atau pyrite(***).

Di bawah ini dikutipkan definisi dari Wikipedia mengenai tiga unsur kimia tersebut:

(*) Tellurides : Unsur Kimia Telluride adalah sebuah komponen sebuah metal dengan elemen Kimia: Tellurium

(**)Quartz : Quarz (help·info)[1]) is the second most abundant mineral in theEarth's continental crust (after feldspar). It is made up of a continuous framework of SiO4silicon-oxygen tetrahedra, with each oxygen being shared between two tetrahedra, giving an overall formula SiO2.

(***) Pyrite : "Fool's Gold" redirects here. For other uses, see Fool's Gold (disambiguation).

Pyrite

A mass of intergrown pyrite crystals

General

Category Sulfide mineral

Chemical formula iron disulfide (FeS2)

Strunz classification II/D.17-30

Dana classification 2.12.1.1

Identification

Color: Pale brass yellow, dull gold

Crystal habit Cubic, faces may be striated, but also frequently octahedral and pyritohedron. Often inter-grown, massive, radiated, granular, globular and stalactitic.

Crystal system Isometric; Pa-3

Twinning Penetration twinning

Cleavage Poor

Fracture Very uneven, sometimes conchoidal

Mohs Scale hardness 6–6.8

Luster Metallic, glistening

Streak Greenish-black to brownish-black; smells of sulfur

Specific gravity 4.95–5.10

Refractive index Opaque

Fusibility 2.5–3 to a magnetic globule

Solubility insoluble in water

Other characteristics paramagnetic

References [1][2][3]

The mineral pyrite, or iron pyrite, is an iron sulfide with the formula FeS2. This mineral's metallic luster and pale-to-normal, brass-yellow hue have earned it the nickname fool's gold due to its resemblance to gold. Pyrite is the most common of the sulfide minerals. The name pyrite is derived from the Greek πυρίτης (puritēs), “of fire” or "in fire”, from πύρ (pur), “fire”. This name is likely due to the sparks that result when pyrite is struck against steel or flint. This property made pyrite popular for use in early firearms such as the wheellock.

Pyrite is usually found associated with other sulfides or oxides in quartz veins, sedimentary rock, and metamorphic rock, as well as in coal beds, and as a replacement mineral in fossils. Despite being nicknamed fool's gold, small quantities of gold are sometimes found associated with pyrite. Gold and arsenic occur as a coupled substitution in the pyrite structure. In the Carlin, Nevada gold deposit, arsenian pyrite contains up to 0.37 wt% gold.[4] Auriferous pyrite is a valuable ore of gold

Sungguh amat menarik mengamati logam yang satu ini: emas (simbol Kimianya Au dari Aurum). Banyaknya yang sekarang ada di kulit bumi ini tidak banyak jumlahnya, terkecuali dari tambang dalam, ratusan bahkan ribuan meter di bawah muka tanah ditemukan lagi. Tentu saja di dasar laut juga masih mungkin sekali ditemukan logam emas, tetapi dengan kondisi harga seperti sekarang biaya eksploitasinya akan lebih besar dari harga emas di pasaran. Jadi secara nilai ekonomi tidak layak jual (Economically Not Justifiable). Entah apa yang terjadi kalau manusia nanti menemukan cara yang menjadikan status tersebut berbalik menjadi menguntungkan.

Konon kalau teknologi sudah memungkinkan maka membuat benang dari logam emas yang murni dapat menghasilkan panjang yang puluhan meter hanya dari satu gram emas murni.

Juga diketaui bahwa emas adalah logam yang hambatannya hampir nol sebagai media hantaran, artinya kalau dialiri gelombang listrik maka akan mengalir hampir tanpa hambatan. Itulah sebabnya mengapa emas amat diminati selama ini sebagai bagian dari barang-barang di dalam industri utamanya yakni produk elektronik, seperti komputer dan lain-lainnya. Saya meyakini meskipun saat ini lebih dari enam puluh persen produk emas hanya digunakan di dalam memenuhi keinginan dan ambisi manusia dalam menghasilkan perhiasan dari emas, pada suatu saat nanti apabila struktur harga akan menunjang, maka akan menurun dan berpindah ke arah pemakaian di dalam industri. Harga emas sudah stabil tinggi saat ini, tahun 2009: antara 920 sampai dengan 1000 lebih sedikit USDollar per Troy Ounce. Hanya tiga kali saja seingat saya harga emas berada ditingkat sekarang: sedikit mendekati USDollar 1000 setiap satu troy ounce yakni pada sekitar sebelum 1990an.

Catatan: 1 troy ounce = 31.1034768 gram, ini adalah satuan yang dikenal dalam perdagangan logam ini di dunia Internasional dan kalangan perdagangan di lantai bursa.

Dalam sistem keuangan yang dianut dunia sekarang uang kertas tidak lagi disokong dan didukung dengan menggunakan cadangan emas. Dahulu Fort Knox pernah menjadi andalan dalam menerbitkan uang kertas. Tetapi sejak ada perubahan yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat (Johnson?) maka uang kertas saat ini tidak lagi diketaui jumlah pastinya. Ada berapakah uang kertas USDollar yang beredar di seluruh dunia?? Lelucon yang beredar sih: apakah masih ada emas di Fort Knox ??

Salah satu bagian dari kegiatan usaha pertambangan telah menimbulkan perburuan logam emas di dunia yang mengakibatkan timbulnya keserakahan manusia. Saat ini kita sudah berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdaulat dan memiliki undang-undangnya di dalam bidang usaha pertambangan. Saat ini pula kita telah lama ikut memanfaatkan tata cara dan teknologi dalam cara menambang mineral, yang termasuk didalam golongan mineral ini adalah logam emas. Di dalam dunia pertambangan ada beberapa bidang yang meliputi kriteria tambang, ada yang termasuk energi: solar (sinar surya atau matahari), panas bumi, gerak gelombang dan kekuatan angin, sumberdaya minyak dan sumberdaya mineral. Undang-undang yang mengatur bidang pertambangan ini sudah puluhan tahun lamanya diakui dan diterapkan di dalam kegiatan pertambangan di Indonesia. Terkait erat dengan kegiatan pertambangan di manapun tempatnya, maka unsur pelestarian alam dan unsur tata kelola yang agak ketat, dengan memperhatikan juga usaha-usaha lain yang mungkin akan tumpang tindih lahannya, seperti perkebunan, pertanian dan kehutanan. Tata cara mengenai hal ini telah dipraktekkan dengan simpang siur selama ini, sehingga terkesan amat kuat bahwa kaum penambang banyak terhalang langkah-langkahnya oleh mereka yang mengelola lahan kehutanan. Birokrasi yang bertumpuk-tumpuk dan rumit menyebabkan kurang lancarnya usaha pertambangan. Pernah terucapkan oleh seorang penambang yang amat berpengalaman, yang telah mengatakan bahwa pohon dan rumput yang ada dan tumbuh di pekarangan rumahnya itu saja boleh dikatakan sebagai termasuk di dalam masalah yang dikuasai oleh tata kelola Kehutanan. Seperti biasa, segala sesuatu yang terlalu ketat, akan mendorong dilakukannya pelanggaran dan abai dalam tindak laku yang pantas. Pelanggaran yang amat sering kita saksikan justru adalah perusakan hutan oleh pembalakan liar yang sulit dibantah, justru oleh aparat pemerintahan sendiri. Luas area kehutanan dan luas daerah pertambangan dalam satuan kilometer persegi amat jauh angka pembandingnya, yang menunjukkan bahwa area pertambangan justru adalah angka yang kecil dalam nilai besarannya.

Jadi jelas dan nyata kerusakan eksploitasi lahan pertambangan pasti akan jauh sekali lebih kecil dari perusakan lahan kehutanan.

Kedua usaha dalam mengelola kedua bidang ini, telah salah dalam tata cara pengelolaan hasilnya. Dua-duanya berlomba-lomba mengekspor hasilnya dengan mentah, tanpa mengusahan pengolahannya secara awal di dalam negeri. Dalan proses pengolahan di dalam negeri banyak sekali keuntungannya bagi Republik kita ini, antara lain: tenaga kerja yang terserap dan pajak dari kegiatan proses itu sendiri. Tambang minyak dan mineral dan energi yang langsung terus diekspor terjadi sejak dan masih sedang berlangsung. Emas bisa dijadikan perhiasan dahulu, minyak bisa disuling sendiri terlebih dahulu, kayu juga amat mungkin diolah dan dijadikan bagian dari usaha bisnis desain interior, atau perabot rumah dan kantor terlebih dahulu, sebelum diekspor. Batubara pun bisa dijadikan briket dan dilakukan blending terlebih dahulu dan masih akan laku dijual. Bertahun-tahun mindset kita adalah customer oriented-berorientasi penuh kepada pelanggan, sehingga apapun yang dikatakan oleh pembeli, selalu ditelan mentah-mentah. Hal seperti ini patut sekali diperhatikan oleh para pejabat pemerintahan kita dan juga oleh para ahli hukum kita yang menangani bidang tersebut di atas. Sudah pernah kita saksikan bahwa negara Jepang yang tidak mempunyai tambang bijih besi, telah pernah lebih dari sepuluh tahun lamanya menyandang sebagai produsen kapal niaga nomor satu di seluruh dunia, dengan nilai produksi sebesar lebih dari 50% produksi kapal niaga di dunia. Sampai hari ini, Republik kita tidak pernah dapat memproduksi pelat baja untuk kapal, yang harganya dapat bersaing dengan produk impor. Industri kapal kita pun terseok-seok melata seperti siput. PT PAL yang kita banggakan telah menelan uang rakyat bermiliar USDollar, pada suatu saat telah membuat galangan kapal lain yang jumlahnya 42 buah, menjadi kehilangan kesempatan untuk ikut serta membangun kapal-kapal yang sudah biasa mengerjakan pangsa pasarnya.

Kembali ke logam emas, mineralnya bisa didapat di daerah batuan quartz, di daerah pasir (alluvial) serta di daerah lain di bawah permukaan tanah lain dan juga dibawah permukaan air. Di tiap tempat yang sifat geografinya berlainan, maka proses penambangannya dan proses pemurniannya akan menggunakan jenis dan cara yang tidak sama alat-alat dan mesin pabriknya. Di daerah alluvial maka pemisahan pasir dari logam emas, biasa dilakukan seperti dan agak serupa dengan yang digunakan oleh proses eksploitasi logam timah di Pulau Bangka dan Biliton serta Singkep: menggunakan palung. Orang Dayak dan lain-lain daerah, juga di Australia, saya lihat orang menggunakan dulang. Alat dulang adalah alat yang dibuat dari kayu jenis tertentu dengan diameter sekitar 50 sampai 60 centimeter dan di arah pusat tengahnya berbentuk legok (ceruk) kearah bawah dan membuat bentuk kerucut (cone) agar bijih emas akan menempati tempat terendah, apabila dilakukan gerak berputar. Ini semua mungkin terjadi karena seperti telah disebut di atas berat jenis emas adalah 13,6, sehingga sebagai akibat beratnya, logam emas akan terlebih dahulu menempati bagian paling rendah, yakni puncak dari kerucut yang letaknya terbalik dengan dasarnya di atas. Dulang adalah alat tradisional yang dipakai untuk mendapatkan butir logam terkecil dan terberat dari mineral-mineral lain. Orang China telah menggunakan alat seperti ini sejak ribuan tahun yang lalu. Ini adalah alat manual yang paling mangkus (effective, berhasil guna) sampai sekarang. Seorang berkebangsaan Kanada menciptakan sebuah alat yang pada dasarnya menggunakan sistem dulang untuk maksud ini, tetapi menggunakan peralatan mekanis. Dengan menggunakan merek nama Knelson Concentrator, dengan putaran sekian ribu RPM (Rotation Per Minute) maka mampu akan menghasilkan gaya tarik yang mencapai sekitar delapan G (satuan Gravitasi Bumi). Saya pernah menggunakan Knelson Concentrator ini yang berukuran 4 inchi maupun yang paling besar. Saya merasa amat puas dengan hasilnya. Apa yang merupakan sisa buangan (tailing) dari penggunaan palung masih berhasil disaring lagi butir yang paling halus dari emas. Butir yang tadinya terapung (mengambang) di atas permukaan air bisa saya peroleh dan endapkan dengan menggunakan Knelson Concentrator ini.

Proses eksplorasi di daerah batuan quartz lain lagi cara-cara ekstrasi logam emasnya. Pertama-tama

bahan batuan yang telah diselidiki cebakan galiannya oleh para ahli geologi dan juga di laboratorium harus dihancurkan dulu dengan mesin penghancur batu-batuan dengan alat-alat yang sesuai dengan sifat batu-batuannya ke dalam ukuran-ukuran tertentu. Selajutnya akan menggunakan alat-alat yang prinsipnya lebih kurang sama, tetapi lebih canggih dan tentu saja lebih mahal harganya. Itulah sebabnya dalam penambangan jenis ini akan bisa melampaui break even point apabila cadangan batuan yang terbukti berkualitas baik itu memang cukup jumlah besarannya.

Dengan melihat jenis asal bahan baku asal cadangan emasnya maka dapat dikirakan besar investasi yang dibutuhkannya apabila telah mencapai tahap eksploitasi. Sebelum tahap eksploitasi, maka ada dua tahap penting yang harus dilampaui, yakni tahap eksplorasi dan tahap Feasibility Study. Ijin dari, demikianpun halnya kontrak dengan Departemen Pertambangan dan Energipun mengikuti tahap-tahap ini. Masa tahapan pun jelas digambarkan lamanya periode tahapan tersebut.

Sejak awal ijin eksplorasipun telah disebutkan bahwa ijinnya hanya dibatasi dengan misalnya: emas dan mineral pengikutnya, kecuali uranium dan bahan galian strategis lainnya. Dengan demikian kalau ijin dan tujuannya menambang logam emas dan menemukan bahan tambang lain seperti seng (Zinc -Zn) atau tembaga (Copper / Plumbum - Pb) sepanjang bukan mineral strategis seperti uranium dan sejenisnya, maka itu adalah penemuan yang menjadi hak penuh pemegang ijin untuk ditambang.

Segala aspek yang menyangkut ijin dan adanya kemungkinan perbedaan peraturan yang menyangkut kebijakan Daerah dan Pemerintah Pusat, harus diteliti secara sempurna agar tidak terjadi salah paham di lapangan. Demikian juga lokasi yang mungkin dilakukan eksplorasipun tetap di harus diteliti sedemikian rupa agar tidak tumpang tindih dengan ijin usaha lain, seperti HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Ijin Pertanian atau Perkebunan dan Area Hutan Lindung, juga kegiatan lainnya yang memiliki ijin lokasi di tempat yang sama, sehingga terjadi tumpang tindih. Kerjasama antar Departemen atau Pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat amat kurang serasi. Kami para pengusaha amat sering menghadapi arogansi masing-masing instansi pemerintah, sehingga menyulitkan gerak usaha semua pengusaha yang terkait di situ. Hal ini akan manaikkan rencana pembiayaan tak terduga dan waktu penyelesaian yang amat lebih lama. Pengalaman membuktikan bahwa ijin pertambangan sebuah Kontrak Karya Pertambangan yang berkaitan dengan tata kelola usaha Kehutanan, bisa memakan waktu dua tahun atau lebih, mondar mandir antara gedung Manggala Wana Bhakti sebagai kantor Departemen Kehutanan dan kantor Kehutanan yang ada dikota Bogor. Memerlukan kesabaran dan ketelitian yang mendalam, yang kalau salah kelola akan bisa membuat usaha terhenti karenanya. Cara kerja birokrasi yang lama tanpa ada indikasi perbaikan, telah berlangsung sejak lebih dari lima belas tahun belakangan ini.

Satu hal penting yang tertinggal belum saya kemukakan adalah: perolehan lahan pada tahap awal. Pemilihan yang tepat adalah mempekerjakan geologist yang berpengalaman, membaca sejarah informasi sesuatu daerah yang berpotensi dan mengambil sample (percontoh) batuan, pasir atau lain-lain. Semua sample harus diteruskan untuk diperiksa di laboratorium. Semua ini memerlukan dana yang cukup sesuai dengan kadar survey yang dikehendaki. Dana semacam ini bisa bersumber dari beberapa pilihan atau altenatif yang tersedia. Pada tahap paling awal memang ada dana pribadi yang harus disiapkan, yang asalnya bisa daei seseorang atau lebih dan dikumpulkan. Pada tahap berikut dapat juga dibentuk sebuah Badan Hukum dan menggunakan dana disetor oleh para pemegang saham Badan Hukum tersebut. Kalau dana perusahaan masih bisa ditingkatkan dari kemampuan para peseronya, maka dana disetor bisa ditambah, atau diusahakan dari pesero baru yang mempunyai interest masuk kedalam usaha Badan Hukum itu. Dana yang paling murah bisa di dapatkan adalah yang berasal dari sebuah Bursa Saham. Pada masa sejak duapuluhan tahun terakhir ini dana untuk investasi pertambangan dari Bursa Saham, cukup baik perputarannya di Australia dan Kanada. Bursa AS hanya sedikit sekali yang berusaha di bidang pertambangan untuk lokasi di luar Amerika Serikat. Usaha semacam ini telah banyak dilakukan di Indonesia dengan sebuah joint venture bersama perusahaan-perusahaan yang terdaftar (listed) di Bursa-Bursa di Kanada seperti VSC (Vacouver Stock Exchange) atau TSC (Toronto SC) dan Alberta SC. Biaya dana (cost of money) dana seperti ini, bisa dipastikan amat rendah, lebih rendah dari bunga Bank manapun juga, di luar biaya-biaya legal seperti lawyer/notaris. Sayangnya saat ini Bursa-Bursa tersebut dan juga kalangan dunia perusahaan tambang di Kanada sedang menurun kepercayaannya terhadap Indonesia. Perlu banyak perubahan di kalangan sikap pemerintah kita dalam menyiapkan atmosfir usaha pertambangan yang lebih menarik.

Anwari Doel Arnowo

31 Juli, 2009

Monday, January 11, 2010

sekedar input

UMUM

Prinsip Utama UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara

JAKARTA. Prinsip utama diterapkannya Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara antara lain sebagai pengganti UU No. 11 Tahun 1967 yang sentralistik serta keinginan pemerintah untuk konsisten dengan UUD 1945 pasal 33.

Dalam acara “Seminar Hukum Online Peraturan Pelaksana UU Minerba”, Direktur Pembinaan Pengusahaan Minerba, Bambang Gatot Ariyono dalam paparannya menjelaskan, beberapa prinsip utama yang melatarbelakangi diterapkannya UU No 4 Tahun 2009 tersebut selain sebagai pengganti UU No. 11 tahun 1967 yang sentralistik juga untuk mengoptimalkan penerimaan negara, memberi kewenangan pemerintah yang jelas sekaligus mengembalikan fungsi Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai regulator.

“UU Minerba mewajibkan pemrosesan dan pemurnian logam dilakukan didalam negeri sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produk dan demi kepentingan nasional, pemerintah dapat menetapkan
domestic market obligation (DMO) untuk mineral dan batubara”, lanjut Bambang.

Senada dengan Bambang Gatot Ariyono, Simon F Sembiring menambahkan, butir-butir terpenting lainnya dalam UU No.4 Tahun 2009 adalah mendorong implementasi kaidah-kaidah
good mining practices yang mengutamakan lingkungan, adanya jaminan kepastian berusaha, mengintegrasikan pengelolaan data pertambangan dan divestasi saham asing untuk pihak nasional.

Saat ini Pemerintah sedang melakukan persiapan penyusunan 4 RPP dan 1 rancangan Permen ESDM untuk mendukung UU No. 4 Tahun 2009. Dengan diberlakukannya UU tersebut diharapkan dapat membawa masa depan pertambangan yang lebih baik dengan adanya kepastian dalam pengusahaan pertambangan dan penyederhanaan skema perizinan.

PDFCetakE-mail

ini undang undang baru

Saya berhasil mengutip secara copy paste link ini yang dimuat di LEGALITAS.org [Free Indonesian Legal Information] yang beralamat di Gedung DIT. JEND. Peraturan Perundang-undangan, Jalan Rasuna said Kav. 6 - 7, Kuningan, Jakarta Selatan, email: admin@legalitas.org

http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+9&f=uu4-2009.htm

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
UNDHNG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2009
TENTANG
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN HEPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a, bahwa mineral dan batubara yang terkandung dala~m
wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan
kekayaan alam tak terbarukan sebagai karun.ia 'ruhan
Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam
memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu
pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi
nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional
dalam usaha mencapai kemakmuran dzn kesejahteraan
rakyat secara berkeadilan;
b. bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan
di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah
mempunyai peranan penting dalam memberikan njlai
tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi
nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutarl;
c. bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional
maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1967 t.entang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan
peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan
mineral dan batubara yang dapat mengelola dan
mengusahakan potensi mineral dan batubara secara
mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan
benvawasan lingkungan, guna menjamin pernbangunan
nasional secara berkelanjutan;
d, bahwa . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaima.na dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk
Undang-Undarig tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara;
Pdengingat : Pasal 5 ayat (I), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ti~hun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL
DAN BATUBARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan
kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi
penyelidikan umum, e ksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangltutan dan penjualan, serta kegiatan
pascatambang.
2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di
alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia. tertentu serta
susunan kristal teratur atau gabungailnya yang
membentuk ba.tuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan
yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuhtumbuhan,
4. Pertarnbangan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
4. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan
mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas
bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
5. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan
karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen
padat, gambut, dan batuan aspal.
6. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalarn rangka
pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
tahapan kegiatarl penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstrultsi, penambangan, pengolahar: dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
pascatambang.
7. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP,
adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambai~gan.
8. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk
melakukan tahapan kegiatan penyelidikan unium,
eksplorasi, dan studi kelayakan.
9. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang dlberikan
setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk
melakukan tahapan kegiatan operasi produl.:si.
10. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR,
adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan
dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah
dan investasi terbatas.
1 1. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya
disebut dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan
khusus.
12. IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk
melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izEn usaha
pertambangan khusus.
13. IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan
setelah selesai pelaksanaan IUPIC Eksplorasi untuk
melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah
izin usaha pertambangan khusus.
14. Pznyeiidikan . . .
14. Penyelidikan Umurn adalah tahapan kegiatan
pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regions1
dan indikasi adanya mineralisasi.
1 5. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan
untuk memperoleh informasi secara terperincl dan teliti
tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan
sumber daya terukur dari bahan galian, serta infoi-masi
mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
16. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha
pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci
seluruh aspek yang berkaitan untuk ~nenenlukan
kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan,
terxnasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta
perencanaan pascatambang.
17. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha
pertambangan yang meliputi konstruksi, penarnbangan,
pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan
penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkvrigan
sesuai dengan hasil studi kelayakan,
18. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi
produksi, t.ermasuk pengendalian dampak lingkungan.
19. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha
pertambangan untuk memproduksi mineral dan: atau
batubara dan mineral ikutannya.
20. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha
pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral
dan/ atau batubara serta untuk memanfaatkan dan
memperoleh mineral iltutan.
2 1. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertamhangan
untuk rnemindahkan mineral dan/atau batubara dari
daerah tambang dan/ atau tempat pengolahan dan
pemurnian sampai ternpat penyerahan.
22. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.
23. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak
di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
24. Jasa. . . .
24. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang
berkaitan de~igank egiatan usaha pertambangan.
25. Analisis Mengenai Dam.pak Lingkungan, yang selanjutnya
disebut amclal, adalah kajian mengenai dampak besar dan
penting suatu usaha darr/ atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/ atau kegiatan.
26. Heklamasi aialah kegiatan yang dilakukan sepanjang
tahapan usaha pertambangzn untuk menata,
memulihkan, dan inemperbaiki kualitas lingkungan dan
ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai
peruntukannya.
27. Kegjatan pascatambang, yang selanjutnya disebut
pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis,
dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh
kegiatan u s a l~ap erta,mbangan untuk memuiihkan fungsi
lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal
di seluruh wilayah penambangan.
28. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara
individual maupun kolelctif, agar menjadi lebih baik
tingkat kehidupannya.
29. Wilayah Pertarnbangan, yang selanjutnya disebut WP,
adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau
batubara dan tidak terikat ciengar, batasan administrasi
pemerintahan yang verupakan bagian dari tata ruang
nasional.
30. Wilayah Usaha Perta'mbangan, yang selanjutnya disebut
WUP, adalah bagian dari WP yang telah memi'iki
ketersediaan dat.a, potensi, dan/atau informasi geologi.
31. Wilayah Izin Usaha Pertarr~bangan, yang selanjutnya
disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada
pemegang IUP.
32. Wilayah Pertambang~n Rakyat, yang selanjutnya disebut
WPR, adalah baginn ldari WP tempat di l a~ukank egiatan
usaha pertambangan -akyat.
33. Wilayah Fencadangan Negara, yang selanjutnya disebut
WPN, adalah bagiafi dari WP yang dicadangkan untuk
kepentingan strategis ~asional.
34. Wilayah . . .
34. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya
disebut WUPK, addlah bagian dari WPN yang dapnt
diusahakan.
35. Wilayah Izin Usaha I'ertambangan Khusus dalam WUPK,
yang selanjutnya disebut WIUPK, adalah wilayah yang
diberikan kepada pemegang IUPK.
35. Pemerintah Pusat, yang selarljutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Rc publik Indonesia yang memegang
kekuasaan Pemerintal-lan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud cialam Undang-Undang Dasar
Negara Zepublik Indonesia Tahun 1945.
37. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahari di bidang pertambangan mineral dan
batubara.
BAB I1
ASAS DAN 'I'UJUAN
Pasal 2
Pertambangan mineral dan/:~tau batubara dikelola
berasaskan:
a. manfaat, keadilan, dan keseimkangan;
b. keberpihakan kepadti kepentingan bangsa;
c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
d. berkelanjutan dan benvawasan lingkungan.
Pasal 3
Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang
berkesinanibungan, tujuan pengeiolaan mineral dan batubara
adalah:
a. menjamin efektivids pelaksanaan dar. pengendalian
kegiatan usaha peA-tambangan secara berdaya guna,
berhasil guna, dan berdaya saing;
b. menjamin nlanfaat pertambangan mineral dan batubara
secars berkelaajutan dan benvawasan lingkungan hidup;
c. menjamin . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan
haku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan
dalam negeri;
d. rnendukung dan menumbuhkembangkan kenlampuan
nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasioiial,
regional, da11 internasional;
e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan
negara, serta menciptakan lapangan kerja uiituk sebesarbesar
kesejahteraan rakyat; dan
f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan
kegiatan usaha pertam bangan mineral dan batubara.
BAB 111
PENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARA
Pasal 4
(1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya darn yang tak
terbarukan rnerupakan kekayaan nasional yang dikuasai
oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
(2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Pasal 5
( I ) Untuk kepentingan nasional, Pemerin tah setelah
berkonsultasi dengan Dewan Penvakilan Rakyat Hepublik
Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutamaan
mineral dan/ atau batubara untuk kepentingan dalam
negeri.
(2) Kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan dengan pengendalian produksi dan
ekspor.
(3) Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mempunyai
kewenangan untuk menetapkan jumlah prodlxksi tiap-tiap
komoditas per tahun setiap provinsi.
(4) Pemerintah daerah wajib mematuhi ketentuan jumlah
yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada aya t (3).
(5) Ketentuan . . .
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan mineral
dan/ atau batubara untuk kepentingan dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengentlalian
produksi dan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerjntah.
BAB IV
KELWENADTGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Pasal 6
(1) Kewenangan Pernerintah dalam pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
a. penetapan kebijakan nasional;
b. pembuatan peraturan perundang -undangan;
c. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria;
d. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral clan
batu bara nasional;
e. penetapar1 WP yang dilakukan setelah berkoordinasi
dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dcngan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
f. pemberian IUP, pembinaan, penyelesa ia n ltorlflik
masyarakat, dan pengawasan usaha pertarnbangan
yang berada pada lintas wilayah pruvinsi dan/atau
wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis
pantai;
g. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat, dan pengawasan usaha pe~.tambarigan
yang lokasi penambangannya berada pada lintas
wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12
(dua belas) mil dari garis pantai;
h. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian koilflik
masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan
operasi produksi yang herdampak lingkurlgan
langsung Iintas provinsi dan/atau dalanl wilsyah laut
lcbih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
i. pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi
Produksi;
j . pengevaluasian IU P Operasi Produksi, yang
dikeluarkarl oleh pemerintah daerah, yan.g telah
nlenimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak
menerapkan kaidah pertambangan yang baik;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
k. p enetapan kebijakan produksi, pernasarar~,
pemanfaatan, dan konservasi;
- penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan
pemberdayaan masyarakat;
m. perumusan dan penetapan penerimaan ilegara bukan
pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan
batubara;
n. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara y ang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah;
o. pembinaan dan pengawasarl penyusunan peraturan
daerah di bidang pertambangan;
p. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta
eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
informasi mineral dan batubara sebagai bahan
penyusunan WlJP dan WPN;
q. pengelolaan informasi geologi, informasi pvtensi
sumber daya mineral dan batubara, serta informasi
pertambangan pada t-ingkat nasional;
r. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan
pascatambang;
s. penyusunan neraca sumber daya mineral dan
batubara tingkat nasional;
t. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan
usaha pertambangan; dan
u. peningkatan kemampuan aparatur Pernerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabuparenlkota
dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha
pertambangan.
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketent.uan peraturan
perundang-un dangan.
Pasal 7
(1) Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan
pertambangarl mineral dan batubara, antara lain, adalah:
a. pembuatan peraturan perundang-undanga.n daerah;
b. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konf?ik
masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan
pada lintas wilayah kabupatenjkota dan/at.au wilayah
laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
c. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan
operasi produksi yang kegiatannya bernda pada lintas
wilayah kabupatenlkota dan/atau wilayah laut 4
(empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
d. pemberian IUP, pembinaan, penye1esaia.n konflik
masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan
yang berdampak lingkungan langsung lint~s
kabupaten / kota dan/atau wilayah laut 4 (em pat) mil
sampai dengan 12 (dua belas) mil;
e. penginventarisasian, penyelidikan dan penclitian serta
eksplorasi dalam rangka memperolsh data dan
informasi mineral dan batubara sesuai dengan
kewenangannya;
f. pengelolaan informasi geologi, inforinasi potensi
sumber daya mineral dan batubara, serta. inf~rmasi
pertambangan pada daerahlwilayah provinsi;
g. penyusunan neraca sumber daya mineral dan
batubara pada daerahlwilayah provinsi;
h. pengembangan clan peningkatan nilai tambah kegiatar,
usaha pertambangan di provinsi;
i. pengcmbangan dan peningkatan peran serta
masyarakat dalam usaha pertambarlgari dengari
memperhatikan kelestarian lingkungan;
j . pengoordinasian perizinan dan pen gawasan
penggunaan bahan peledak di wilayah tam bang sesuai
dengan kewenangannya;
k. penyampaian informasi hasil inventari sasi,
penyelidikan umum, dan penelitian serta eksplorasi
kepada Menteri dan bupati/ walikota;
1. penyampaian informasi hasil produ ksi, penjualan
dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan
bupati/ walikota;
m. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan
pasca tambang; dan
n. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupatenlkota dalam
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
(2) Kewenangan pemeriiltah provinsi sebagaimana dirnaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturari perundang-undangan.
Pasal 8 . . .
PEESIDEN
HEPURLIK INDONESIA
( 1) Kewenangan pemerintah kabupatenl lcota dalam
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. antara
lain, adalah :
a. pembuatarl peraturan perundang-undangan daerah;
b. pemberian IUP dan IPR, pembinaari, penyelesaian
konflik masyarakat, dan pengawasan usaha
pertambangan di wilayah kabupaten/ kota dan/ atau
wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian
konflik masyarakat dan pengawasan usaha
pertambangan operasi produksi yang kegiatannya
berada di wilayah kabupatenl kota dan ,'atau syilayah
laut sampa-i dengan 4 (empat) mil;
d. penginventarisasian, penyelidikan clan penelitian, serta
eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
informasi mineral dan batubara;
e. pengelolaan informasi geologi, inrorrnasi potensi
mineral dan batubara, serta informasi pertarnbangan
pada wilayah kabupatenl kota;
f. penyusunan neraca sumber daya rnineral dan
batubara pada wilayah kabupatenl kota;
g. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
setempat dalam usaha pertambangan dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan;
h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan
manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal;
i. penyampaian infor~nasi hasil inventarisasi,
penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi
dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur;
j. penyampaian informasi hasil produlcai, penj ualan
dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan
gubernur;
k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi
lahan pascatambang; dan
1. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah
kabupatenl kota dalam penyelenggaraan pengelolaan
usaha pertambangan.
(2) Kewenangan pemerintah kabupatenl kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
keten tuan peraturan perundang-undangan .
BAE V
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB V
WILAYAH PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Umum
(1) WP sebagai bagian dari tat.a ruang nasional merupakan
landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan.
(2) WP sebagairnana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah
daerah dan berkonsultasi dengan Dewan IJerwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 10
Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 v a t (2)
dilaksanakan:
a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;
b. secara terpadu dengan rnemperhatikan pendapat dari
instansi penzerintah terkait, masyarakat, dan der~gan
mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial
budaya, serta berwawasan lingkungan; dan
c. dengan rnemperhatikan aspirasi daerah.
Pasal 11
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib nlelakukan
penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka
penyiapan WP.
Pasal 12
Keten tuan lebih lar~jutm engenai batas, luas, dan rnekanisme
penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Pasal
10, dan Pasal I 1 diatur dengan peraturarl pemerintah.
Pasal 13
WP terdiri atas:
a. WUP;
b. WPR; dan
c. WPN.
Bagian Kedua . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Kedua
Wilayah Usaha Pertambangan
Pasal 14
(1) Penetapan WUP dilakukan oleh Pemerintah setelah
berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan
disampaikan secara tertulis kepada Dewan Penvakilan
Rakyat Hepublik Indonesia.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan pemerintah daerah yang bersarlgkutan
berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Peinerintah
dan pemerintah daerah.
Pasal 15
Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenzngannya
dalam penetapan WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) kepada pemerintah provinsi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP yang
berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah
kabupaten/ kota, dan/ atau dalam 1 (satu) wilayah
kabupatenl kota.
Pasal 17 4
1
Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetaplcan
oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintall daerah
berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah.
Pasal 18 iI
Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP 4
dalam 1 (satu) WUP adalah sebagai berikut:
a. letak geografis;
b. kaidah konservasi;
c. daya dukung lindungan lingkungan;
d. optimalisasi sumber daya mineral dan/ atau batubara; i
Y
dan j
e. tingkat kepadatan penduduk.
Pasal 19
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut nlengenai tata cara penetapan batas
dan luas WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dictur
dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Wilayah Pertambangan Rakyat
Pasal 20
Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalarn suatu
WPR.
WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ditetapkan oleh
bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan Dewan
Penvakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota.
Pasal 22
Kriteria untuk nienetapkan WPR adalah. sebagai be14tut:
a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di
sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai;
b. mempunyai cadangan primer logam atau ba t-ubara
dengan kedalaman ~naksima2l 5 (dua puluh linla) meter;
c. endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai
purba;
d. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25
(dua puluh lima) hektare;
e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang;
dan/ atau
f. rxerupakan wilayah atau tempat kegiatan tarnbang
rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangny a 15
(lirna belas) tahun.
Pasal 23
Dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 1, bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumurnan
mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka.
PRESIDEN
REPUBLIK INGONESIA
Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah
dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR
diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, prosedur, dan
penetapan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 23 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan mekanisme
penetapan WPR, sebagaimana dimaksud dalam Pa.sal 22 dan
Pasal23 diatur dengan peraturan daerah kabupat en/ kota.
Bagian Keempat
Wilayah Pencadangan Negara
Pasal 27
(1) IJntuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan
persetujuan Dewan Penvakilan Rakyat Republik Indonesia
dan dengan memperhatikan aspirasi daerah nlenetapkan
WPN sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas
tertentu dan daerah konseivasi dalam rangka menjaga
keseimbangan ekosistem dan lingkungan.
(2) WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan
sebagian luas wilayahnya dengan persetrljuarl Dewan
Perwakilan Rakyat Rcpublik Indonesia.
(3) WPN yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan batasan waktu dengan
persetujuan Dewan Penvakilan Rakyat Republik
Indonesia.
(4) Wilayah yang akan diusahakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) berubah statusnya rncnjadi
WUPK.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Perubahan status WPN sebagaimana dimaksud daiam Pasal
27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) menjadi WUE'K dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri;
b. sumber devisa negara;
c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan
prasarana;
d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi;
e. daya dukung lingkungan; dan/atau
f. penggunaan tekxlologi tinggi dan modal investasi yang
besar.
Pasal 29
(I) WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4)
yang akan diusahakan ditetapkan oleh Penlerirltah
setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di -vVUPK
sebagaimana d.imaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk IUPK.
Satu WUPK terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUPK yang
berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah
kabupaten/ kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten/ kota.
Pasal 31
Luas dan batas WIUPK mineral logam dan batubara
ditetapkan oleh Pelnerintah berkoordinasi dengan pernerintah
daerah berdasarkan kriteria dan informasi yang dimiliki oleh
Pemerintah.
Pasal 32
Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa U'IUPK
dalam 1 (satu) WUPK adalah sebagai berikut:
a. letak geografis . . .
PRESIOEN
REFUBLIK INDONESIA
a. letak geografis;
b. kaidahkonservasi;
c. daya dukung lindungan lingkungan;
d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara;
dan
e. tingkat kepadatan penduduk.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan luas dan
batas WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan
Pasal 32 diatur dengan peraturan pemerintah.
BAR VI
USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 34.
(1) Usaha pertambangan dikelompokkan atas:
a. pertambangan mineral; dan
b. pertambanqan batubara.
(2) Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada aynt
(1) huruf a digolongkan atas:
a. pertambangan mineral radioaktif;
b. pertambangan mineral logam;
c. pertambangan mineral bukan logam; dan
d. pertambangan batuan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu
komoditas tambang ke dalam suatu golongan
pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 35
Usaha pertambangan sebagainlana dinlaksud dalam Pasal 34
dilaksanakan dalarri bentuk:
a. IUP;
b. IPR; dan
c. IUPK.
BAB VII
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB VII
IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 36
(1) IUP terdiri ata.s dua tahap:
a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, dan studi kelayakan;
b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstrrzksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pengangkutan dan penjualan.
(2) Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegar,p, IUP Operasi
Produksi dapat melakukan sebagian atau selurvh
kegiatan sebagaimana dirnaksud pada ayat ( 1).
IUP diberikan oleli:
a, bupati/walikota apabila WIUP berada di dalarn satu
wilayah kabupaten/ kota;
b. gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah
mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota seternpat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
~n d a n g a nd; an
c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi
setelah mendapatkan rekomendasi dari gubel-nur clan
bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 38
IUP diberikan kepada:
a. badan usaha;
b. koperasi; dan
c. perseorangan.
PRESIDEN
REPUBL-IK INDONESIA
(1) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dnlam Pasal 36
ayat f1) huruf a wajib memuat ketentuaiz sekurangkurangnya
:
a. nama perusahaan;
b. lokasi dan luas ~~ilayah;
c. rencana umum tata ruang;
d. jaminan kesungguhan;
e. modal investasi;
f. perpan.jangan waktu tahap kegiatan;
g. hak dan kewajiban pemegang IUP;
h. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan;
i. jenis usaha yang diberikan;
j, rencana pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
k. perpajakan;
1. penyelesaian perselisihan;
m, iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
n. amdal.
(2) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1) huruf b wajib memuat kctentuan
sekurang-kurangnya:
a. nama perusahaan;
b. luas .wilayah;
c. lokasi penambangan;
d. lokasi pengolahan dan pemurnian,
e. pengangkutan dan penjualan;
f. modal investasi;
g. jangka waktu berlakunya IUP;
h. j angka waktu tahap kegiatan;
i. penyelesaian masalah pertanahan;
j. lingkungan hidup termasuk reklamasi dan
pascatambang;
k. dana jaminan reklamasi dan pascatambang;
1. perpanjarigan IUP;
m. hak dan kewajiban pemegang IUP;
n. rencana pengembangan dan pernberdayaan
masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
o. perpajakan;
p. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran
tetap dan iuran produksi;
q. penyelesaian perselisihan;
r. keselanlatan dan kesehatan kerja;
s. konservasi mineral atau batubara;
t. pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri;
u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan
pertambangan yang baik;
v. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
w. pengelolaan data mineral atau batubara; dan
x. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi
pertambangan mineral atau batubara.
Pasal 40
(1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral atau batubara.
(2) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
menemukan mineral lain di dalam WIUP yang dikelola
diberikan prioritas untuk mengusahakannya.
(3) Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral
lain sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 , wajib
mengajukan permohonan IUP baru kepa.da Menteri,
gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
menyatakan tidak berminat untuk mengu~ahakan
mineral lain yang ditemukan tersebut.
(5) Pemegang IUP yang tidak berminat untuk mengusahakan
mineral lain yang ditemukan sebagaimana dirrlaksud pada
ayat (4), wajib merljaga mineral lain tersebut agar tidak
dimanfaatkan pihak lain.
(6) IUP untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak laill oleh
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 41
IUP tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam
pemberian IUP.
Bagian Kedua .
PRESIDEN
HEPURLIK INDONESIA
Bagian Kedua
IU P Eksplorasi
(I) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral lcrgam dapat
diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan)
tahun.
(2) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam
dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun dan mineral bukan logam jenis terteritu dapat
diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
tahuii.
(3) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat
diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat
diberikan dalam jangka waktu paling la.rrla 7 (tujuh)
tahun.
(1) Dalam ha1 kegiatan eksplorasi dan kegiata~l studi
kelayakan, pemegang IUP Ektsplorasi yang mendapatkan
mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan
kepada pemberi IUP.
(2) Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau
batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mengajukan izin sementara untuk melakukan
pengangkutan dan penjualan.
Izin sementara sebagai~nanad imaksud dalam Pasal 4.3 ayat (2)
diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 dikenai iuran produksi.
Bagian Ketiga . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Bagian Ketiga
IUP Operasi Produksi
Pasal 46
(1) Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk
memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan
kegiatan usaha pertambangannya.
(2) IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan
usaha, koperasi, atau perseorangan atas hasil pelelangan
WIUP mineral logam atau batubara yang telah
mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.
Pasal 47
(1) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam
dapat djberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing
10 (sepuluh) tahun.
(2) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral
bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu pading
lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua)
kali masing-masing 5 (lima) tahun.
(3) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral
bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalai~jla ngka
waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 0 (sepuluh)
tahun.
(4) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuar~ dapat
diberikan daiarn jangka waktu paling lama 5 (Iima) taliun
dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali maslng-masing 5
(lima) tahun.
(5) IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara
dapat diberikan dalam jangka waktu paling larna 20 (dua
puluh) tahur, dan dapat diperpanjang 2 (dual kali masingmasing
10 (sepuluh) tahun.
IUP Operasi Produksi diberikan oleh:
a. bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi
pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan beradr di
dalam satu wilayah kabupatenl kota;
b. gubernur
PRESIDEN
REPUBLlK INDONESIA
b. gubernur apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan
dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalarri
wilayah kabupatenl kota yang berbeda setelah
mendapatkan rekomendasi dari bupati/ walikota setempat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
dan
c. Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolaharl
dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam
wilayah provinsl yang berbeda setelah mendapatkan
rekomendasi dari gubernu.r dan bupatilwalikota setempat
sesuai dmgan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut rnengenai tata cara pemberian IUR
Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan IUP
Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dulam Paaal 46
diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Pertambangan Mineral
Paragraf 1
Pertambangan Mineral Radioaktif
Pasal 50
WUP mineral radioaktif ditetapkan oleh Pemerintah dan
pengusahaannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Pertambangan Mineral Logam
Pasal 51
WIUP mineral logarn diberikan kepada badan usaha, koperasi,
dan perseorangan dengan cara lelang.
Pasal 52
(1) Pemegang IU?? Eksplorasi mineral logam diberi WIUP
dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan
paling banyak 100.000 (seratus ribu) kiektare.
(2) Psda . . .
PRESIDEN
REPUBLII<>
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral
logam dapat diberilcan IUP kepada pihak lain urltuk
mengusahakan mineral lain yang keterdapatanrlya
berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari
pernegang IUP pertama.
Pasal 53
Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP
dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh limn ribu)
hektare.
Paragraf 3
Pertambangan Mineral Bukan Logam
Pasal 54
WIlJP mineral bukan logam diberikan kepada badan usaha,
koperasi, dan perseorangan dengan cara permohonan wilayah
kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalarr~P asal37.
Pasal 55
(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan loga~n diberi
WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare
dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral
bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain
untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan setelah mempertimbangkan peildapat dari
pemegang IUP pertama.
Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi
WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.
Paragraf 4
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Para.graf 4
Pertambangan Batuan
Pasal 57
WIUP batuan diberikan kepada badarl usaha, koperasi, dan
perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada
pernberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal37.
(1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas
paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling hanyak 5.000
(lima ribu) hektare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan
dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan serelah mempertimbangkan pendapar dari
pemegang IUP pertama.
Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan
luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare.
Bagian Kelima
Pertambangan Batubara
WIUP batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan
perseorangan dengan cara lelang.
(1) Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan
luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling
banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.
(2) Pada . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Elcsplorasi
batubara dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari
pemegang IUP pertama.
Pasal 62
Pemegang IlJP Operasi Produksi batubara diberi WIUP densan
luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
Ketentuan lebih lanjut rnengenai tata cara memperoleh WiUP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57,
dan Pasal6O diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VIII
PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 64
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana
kegiatan usaha pertambangan di WIUP sebagaimana
dilnaksud dalam Pasal 16 serta memberikan IUP Eksplorasi
dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalarn Pasal
36 kepada masyarakat secara terbuka.
(1) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagainlaila
dimaksud dalam Pasal 5 1, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal
60 yang ~nelakukan usaha pertambangan wajib
memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis,
persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan
administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan,
dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB IX . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB IX
IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
Pasal 66
Kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dim3ksud dalarrl
Pasal 20 dikelompokkan sebagai berikut:
a. pertambangan mineral logam;
b. pertambangan mineral bukan logam;
c. pertambangan batuan; dan/ atau
d. pertarnbangan batubara.
Pasal 67
(1) Bupati/walikota memberikan IPR terutama ltewada
penduduk setempat, baik perseorangan maupun
kelompok masyarakat dan/atau koperasi.
(2) Bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan
pelaksanaan pemberian IPR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
(3) Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat
(I), pemohon wajib menyampaikan surat permohonan
kepada bupati/ walikota.
(1) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat dibcrikan
kepada:
a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare;
b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) helrtare;
dan/ atau
c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare.
(2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang.
Pasal 69
Pemegang IPR berhak:
a. mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis
pertambangan, dan manajemen dari Pemerin~ah
dan/ atau pemerintah daerah; dan
PRESIUEN
REPUBLIK INDONESIA
b . rnendapat bantuan modal sesuai dengan keten tual?
peraturan perundang-undangan.
Pasal 70
Pemegang IPR wajib:
a. melakukan kegiatan penamba.ngan paling larnbat 3 (tip)
bulan setelah IPR diterbitkan;
b. mematuhi peraturan perundang-undangan dl bidang
keselamatan dan kesehatan kerja pertambarlgari,
pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang
berlaku;
c. mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah;
d. membayar iuran tetap dan iuran produksi; dan
e. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan rakyat secara berkala kepada pe~nberi IPR.
Pasal 7 1 1
d
I
(I) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, S
pemegang IPR dalam melakukan kegiatan pertambangan 1 t
rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 wajib
menaati keteiltuan persyaratan teknis pertambangar?.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis
pertambangan sebagaimana dimaksud pada a p t (1)
diatur dengan peraturan pemerintah. 1
i
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR
diatur dengan peraturan daerah kabupatenl kota.
Pasal 73 4a
f
i
(1) Pemerintah kabupaten/ kota melaksanakan pembinaan di i
bidang pengusahaan, teknologi pertarnbangan, serta
permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan
kemampuan usaha pertambangan rakyat.
(2) Pemerintah kabupatenl kota bertanggung jawab terhadap 4
pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat 1
yang meliputi: 1
a. keselamatan dan kesehatan kerja; j
b. pengelolaan lingkungan hidup; dan
c. pascatan-bang.
(3) Untuk . . .
j
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)) pemerintah kabupaten/ kota
i~a j ibm engangkat pejabat fungsional inspektur tambang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Pemerintah kabupaten/ kota wajib mencata t hasil
produksi dari seluruh kegiatan usaha pertarnbangan
rakyat yang berada dalam wilayahnya dan melaporkannya
secara berkala kepada Menteri dan gubernur seternpat.
BAB X
IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
(1) IIJPK diberikan oleh Menteri dengan menlperhatikan
kepentingan daerah.
(2) !UPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
untuk 1 (satu) jenis mineral logam atau batubara. dalam 1
(satu) WIUPK.
(3) Pcmegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang menemukan mineral lain di dalam WIUFK yang
dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.
(4) Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan mineral
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (21, wajib
mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri.
(5) Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat menyatakan tidak berminat untuk menglrsahakan
mineral lain yang ditemukan tersebut.
(6) Pemegang IUPIC yang tidak bermin at un tuk
mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4)) wajib menjaga mineral lain
tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain.
(7) IUPK untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain
oleh Menteri.
Pasal 75
(1) Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
ayat ( I ) dilakukan berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia, baik berupa badan usaha milik negar-a, badan
usaha milik daerah, maupun badan usaha swasta.
(3) Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat PI-joritas
dalam mendapatkan IUPK.
(4) Badan usaha swasta sebagaimana dimaksuld pada ayat (2)
untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara
lelang WIUPK.
(1) IUPK terdiri atas dua tahap:
a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, dan studi kelayakan;
b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konst~uksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pengangkutan dan penjualan.
(2) Pemegang IUPK Eksplorasi dan pemegang IUPK Operasi
Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperolen
IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
( 1) Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijarrlin untuk
memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan
kegiatan usaha pertambangannya.
(2) IUPK Operasi Produksi dapat diberikan k-epada badan
usaha yang berbadan hukum Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) yang telah
mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.
IUPK Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
( 1) huruf a sekurang-kurangnya wajib memua t:
a. nama perusahaan;
b. luas dan lokasi wilayah;
c. rencana umum tata ruang;
PRESIDEN
HEPUBLIK INDOhIESIA
j aminan kesungguhan;
modal investasi;
perpanjangan waktu tahap kegiatan;
hak dan kewajiban pemegang IUPK;
jangka waktu tahap kegiatan;
jenis usaha yang diberikan;
rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
di sekitar wilayah pertambangan;
perpaj akan;
penyelesaian perselisihan masalah pertanahan;
iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
arndal.
IUPK Operasi Prodrtksi sebagaimana dimaksud dalarn Pa.sal 76
ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya wajib memuat:
a. nama perusahaan;
b. luas wilayah;
c. lokasi penambangan;
d. lokasi pengolahan dan pemurnian;
e. pengangkutan dan penjualan;
f. modal investasi;
jangka waktu tahap kegiatan;
penyelesaian masalah pertanahan,
lingkungan hidup, termasuk reklamasi dan
pascatambang;
dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang;
jangka waktu berlakunya IUPK;
perpanj angan IUPK;
hak dan kewajiban;
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar
wilayah pertambangan;
o. perpajakan;
p. iuran tetap dan iuran produksi serta bagian pendapatan
negaraldaerah, yang terdiri atas bagi hasil dari
keuntungan bersih sejak berproduksi;
q. penyelesaian perselisihan;
r. keselamatan dan kesehatan kerja;
s. konservasi mineral atau batubara;
t. pemanfaatan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
t. pernanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemarnpuan
rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan
pertambangan yang baik;
v. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
w, pengelolaan data mint:ral atau batubara;
x. penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi
pertambangan mineral atau batubara; dan
y. divestasi saham.
Pasal 80
IUPK tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam
pemberian IUPK.
(1) Dalam ha1 kegiatan eksplorasi dan keglatan studi
kelayakan, pemegang IUPK Eksplorasi yang mendapatkan
mineral logam atau hatubara yang tergali wajib
melaporkan kepada Menteri.
(2) Pemegang IUPK Eksplorasi yang ingin menjual mineral
logam atau batubara sebagairnana dimaksud pada ayat
(1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan
pengangkutan dan penjualan.
(3) Izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan oleh Menteri.
Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 81 dikenai iuran produksi.
Pasal 83
Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan
kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi penlegnng
IUPK meliputi:
a. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
pertambangan mineral logam diberikan dengan luas
paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
b. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi
produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan
luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
c. luas . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDObIESIA
c. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
pertambangan batubara diberikan dengan luas paling
banyak 50.000 (lirna puluh ribu) hektare.
d. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi
produksi pertambangan batubara diberikan derlgan luas
paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
e. jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral
logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun.
f. jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara
dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun.
g. jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral Yogam atau
batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing
10 (sepuluh) tahun.
Ketentuan lehih lanjut mengenai tala cara memperoleh WIUPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) d a i ~a yat (3),
dan Pasal 75 ayat (3) diatur dengan peraturan perrlerintah.
BAB XI
PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN KI-IUSIJS
Pasal 85
Pemerintah berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan
usaha pertambangan di WIUPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 serta memberikan IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi
Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 6 kepada
masyarakat secara terbuka.
Pasal 86
(1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat
(2) yang melakukan kegiatan dalam WIUPK wajib
memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis,
persyaratan lingkungan dan persyaratan finansia.1.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pcrsyara tan
administratif, persyaratan teknis, persyarataii lingkungan,
dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
EAB XI1 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB XI1
DATA PERTAMBANGAN
Pasal 87
Untuk menunjang penyiapan WP dan pengembangan ilmu
pengetahuan clan teknologi pertambangan, Menteri atau
gubernur sesua.i dengan kewenangannya dapat menugasi
lembaga rise t negara da n / atau daerah untuk melakultan
penyelidikan dan penelitian tentang pertambanga n.
Pasal 88
(1) Data yang diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan
merupakan data milik Pemerintah danlatau pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya .
(2) Data usaha pertambangan yang dimiliki pemerintah
daerah wajib disampaikan kepada Pemerintah untuk
pengelolaan data pertambangan tingkat nasional.
(3) Pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (:)
diselenggaraka n oleh Pemerintah dan/ atau peme rintah
daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan
penyelidikan darl penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87 dan pengelolaan data sebagaimana dimaksud daiam
Pasal 88 diatur dengarl peraturan pemerintah.
BAB XI11
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 90
Pemegang IUP dan IUPK dapat rnelakukarl sebagjan atau
seluruh tahapan usaha pertarnbangan, bail., kegiatan
eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarans clan
sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah
memerluhi ketentuan peraturam perundang-undangan.
Pasal 92
Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk
mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi
apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi,
kecuali mineral ikutan radioaktif.
Pasal 93
(I) Pemegang IUP dan lUPK tidak boleh memindahkan IUP
dan IUPK-nya kepada pihak lain.
(2) Untuk pengalihan kepemilikan danjatau saha~n di bursa
saham Indonesia hanya dapat dilakukan setelah
melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu.
(3) Pengalihan kepemilikan dan/atau saham scbagairnana
dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakulcan dengan
syarat:
a. harus memberitahu kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; dan
b. sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
peratura.n perundang-undangan.
Pasal 94
Pemegang IUP dan IUPK dijamin haknya untuk melakukan
usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 95
Pemegang IUP dan IUPK wajib:
a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik;
b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi
Indonesia;
c. meningkatkan . . .
PRESIDE N
REPUBLIK INDONESIA
c. meningkatkan nilai tambah surrlber daya mineral
dan/ atau batubara;
d. melaksanakan pengembangan dan peinberdayaan
masyarakat setempat; dan
e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.
Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik,
pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan:
a. ketentuan keselalnatan dan kesehatan kerja
pertarnbangan ;
b. keselamatarl operasi pertambangan;
c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan,
termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang;
d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara;
e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha
pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai
memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum
dilepas ke media lingkungan.
Pasal 97
Pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar
dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu
daerah.
Pasal 98
Pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan
daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 99
(1) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan
rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat
mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK
Operasi Produksi.
(2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan ?ascatambang
dilakukan sesuai dengan peruntukarn lahan
pascatambang.
(3) Peruntukan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimakslxd
pada ayat (2) dicantunlkan dalam perjanjian penggunaan
tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak
atas tanah.
Pasal 100
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana-iaminan
reklamasi dan dana jaminan pascatambang.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sssuai derigan
kewenangai~nya dapat menetapkan pihak ketiga untuk
melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana
jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak
melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai
dengan rencana yang telah disetujui.
Pasal 1.0 1
Ketentuan lebih lanjut rnengenai reklamasi dan pascatambang
sebagaimana dimaksi~d cialam Pasal 99 serta rlana jaminan
reklamasi dan dana jaminan pascatambang sebagairnana
dimaksud dalam Pasal 100 diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 102
Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan
mineral dan batubara.
Pasal 103
( 1 Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produltsi wajib
melakukan pengolahan dan pemurnian hasil
penambangan di dalam negeri.
(2) Pemegang IUP dan JUPK sebagaimana dirnaksud pacla
ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil
penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainrlya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai
tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta
pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur deilgan peraturan pemerintah.
Pasal 104 . . .
PRESIDEN
REPYBLIK INDONESIA
Pasal 104
(1) Untuk pengolahan dan pemurnian, pemegang IUP Operasi
Produksi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerja sama
dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang
telah mendapatkan IUP atau IUPK.
(2) IUP yang didapat badan usaha sebagairn.arla dimaksud
pada ayat (1) adalah IUP Operasi Produksi Khusus urituk
pengolahan dan pemurnian yang dikeluarkari oleh
Menteri, gubernur, bupati/'walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana diniaksud pada
ayat (1) dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian
dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR,
atau IIJPK.
Pasal 105
(1) Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha
pertambangan yang bermaksud menjual mineral
dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu
memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan.
(2) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diberikan untuk 1 (satu) kali penjualan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai iuran
produksi.
(4) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) wajib menyampaikan laporan hasil penjualan
mineral dan/ atau batubara yang tergali kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuaj dengan
Irewenangannya.
Pasal 106
Pemegang IUP dan IUPK hams mengutamakan pemanfaatan
tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 107 . . .
PRESIDEN
REPUBL-IK INDONESIA
Pasal 107
Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha
pemegang IUP dan IUPK wajib mengikutsertakan pengusaha
lokal yang ada di daerah tersebut sesuai dengaiz ketentuan
pera turan perundang-undangan.
Pasal 108
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.
(2) Penyusunan program dan rencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikonsultasikan ltepada
Pemerintah, pemerlntah daerah, dan masyarakat.
Pasal 109
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembangail
dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 108 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 1 10
Pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan seluruh data
yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi
k-epada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 11 1
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib memberikan laporan
tertulis secara berkala atas rencana kerja dan
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketentuan lebih larljut mengenai bentuk, jenis, waktu,
dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dirnaksud pada ayat (1) diatur dengarl peraturan
pemerintah.
Pasal 1 12
(1) Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha
pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dirniliki oleh
asing wajib melakukan djvestasi saham pada Pemerintah,
pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasio~al.
(2) Ketentuan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan perrierintah.
BAB XIV
PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSIJS
Pasal 113
(1) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan
dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila
terjadi:
a. keadaan kahar;
b. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan
penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usakla
pertambangan;
c. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah
tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan
operasi produksi sumber daya rnineral dan/atau
batubara yang dilakukan di wilayahnya.
(2) Penghentian sementara kegiatail usaha pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak Amei~gurangi
masa berlaku IUP atau IUPK.
(3) Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha
pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b disampaikan kepada Mentesi, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dapat dilakukan oleh inspektur tambang atau
dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulj s
diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak menerima permohonan tersebut.
Pasal 114
(1) Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan
kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) diberikan paling lama
1 (satu) tahu11 dan dapat diperpanjang paling banyak 1
(satu) kali untuk 1 (satu) tahun.
(2) Apabila . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Apabila dalam kurun waktu sebelum habis masa
penghentian sementara berakhir pemegang IUP dan IIJPJC
sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegialan
dirnaksud wajib dilaporkan kepada Menteri, gubernur,
atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai aengarr
kewenangannya mencabut keputusan pengherltian
se~nentara setelah menerima laporan sebagainiarla
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 115
(1) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha
pertambangan diberikan karena keadaan kahar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a,
kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah
dan pemerintah daerah tidak berlaku.
(2) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha
pertambangan diberikan karena keadaan ya ng
menghalangi kegiatan usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b, kewajiban
pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan
pemerintah daerah tetap berlaku.
(3) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha
pertambangan diberikan karena kondisi daya dukung
lingkungan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
113 ayat (1) huruf c, kewajiban pemegang IUP dan YTJPK
terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap
berlaku.
Pasal 116
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian sementara
kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 13, Pasal 1 14, dan Pasal 1 15 diatur dengan peraturan
pemerintah.
BAB XV
BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Pasai 1 17
IUP dan IUPK berakhir karena:
a. dikembalikan;
b. dicabut . . .
PHESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. dicabut; atau
c. habis masa berlakunya.
Pasal 1 18
(1) Pemegang IUP atau IUPK dapat ~nenyerahkan kembali IUFJ
atau IUPK-nya dengan pernyataan tertuiis kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesilai de~lgan
kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas.
(2) Pengembalian IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetuj~wi oleh
Menteri, gubern ur, atau bupati/ walikota sesuai dengan
kewenangannya dan setelah memenuhi kewajibannya.
Pasal 119
IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila:
a. pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang
ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan
perundang- undangan;
b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; atau
c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.
Pasal 120
Dalam ha1 jangka waktu yang ditentukan dalam IUP dan JIJPK
telah habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau
perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan
tetapi tidak memenuhi persyaratan, IUP dan IUPK tersebut
berakhir.
Pasal 121
(1) Pemegang IUP atau IUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya
berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalarn
Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 wajih
memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesual dengan
ketentuan peraturan peruridang-undangan.
(2) Kewajiban pemegang IUP atau IUPK sebagalmana
dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah
mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 122 . . .
PHESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 122
(1) IUP atau IUPK yang telah dikembalikan, dicabut, atau
habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 1 dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) WIUP atau WIUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditawarkan kepada
badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui
mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 123
Apabila IUP atau IUPK berakhir, pemegang IUP atau lUPK
wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil
eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
BAB XVI
USAHA JASA PERTAMBANGAN
Pasal 124
(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan
jasa pertarnbangan lokal dan/ atau nasional.
(2) Dalam ha1 tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)) pemegang ITJP atall
IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan
lain yang berbadan hukum Indonesia.
(3) Jenis usaha jasa pertambangan meliputi:
a. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian
peralatan di bidang:
1) penyelidikan umum;
2) eksplorasi;
3) studi kelayikan;
4) konstruksi pertambangan;
5) pengangkutan;
6) lingkungan pertambangan;
7) pascatambang dan reklamasi; dan/ atau
8) keselamatak dan kesehatan kerja.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di
bidang :
1) penambangan; atau
2) pengolahan dan pernurnian.
Pasal 125
(1) Dalam ha1 pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa
pertambangan, tanggu~lg jawab kegiatan usaha
pertambangan tetap dibebankan kepada perrlegang IUP
atau IUPK.
(2) Pelaksana usaha jasa pertambangan dapat berupa badan
usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai dsngan
klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh
Menteri.
(3) Pelaku usaha jasa pertambangan wajib meng~~tamaltan
kontraktor dan tenaga kerja lokal.
Pasal 126
(1) Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak
perusahaan dan / atau afiliasinya dalam bidang usaha j asa
pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang
diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri.
(2) Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan apabila:
a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis
di wilayah tersebut; atau
b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang
berminat/ mampu.
Pasal 127
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha jasa
pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal
125, dan Pasal 126 diatur dengan peraturan menteri.
BAB XVII
PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH
Pasal 128
(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar peridapatm
negara dan pendapatan daerah.
(2) Pendapatan . . .
(2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara
bukan pajak.
(3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tcrdiri atas:
a. pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang perpajakan; dan
b. bea masuk dan cukai.
(4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdiri atas:
a. iuran tetap;
b. iuran eksplorasi;
c. iuran produksi; dan
d. kompensasi data informasi.
(5) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. pajak daerah;
b. retribusi daerah; dan
c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 129
(1) Pernegang lUPK Operasi Produksi untuk pertambangan
mineral logam dan batubara wajib membayar sebesar (1%
(empat persen) kepads. Pemerintah dan 6% (enam persen)
kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak
berproduksi.
(2) Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1%
(satu persen);
b. pemerintah kabupatenlkota penghasil mendapat
bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan
c. pernerintah kabupatenl kota lainnya da lam provinsi
yang sama mendapat bagian sebesar 2,596 (dua koma
lima perseri).
Pasal 130 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 130
(1) Pemegang IUP atau IlJPK tidak dikenai iuran produksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c
dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 128 ayat (5) atas tanahlbatuan
yang ikut tergali pada saat penambangan.
(2) Pemegang IUP atau IUPK dikenai iuran produksi
sebagaimana diinaksud dalam Pasal 128 ayat (4) humf c
atas pemanfaatan tanahlbatuan yang ikut tergali pada
saat penambangan.
Pasal 131
Besarnya pajak dan penerimaan negara bukarl pajak yang
dipungut dari pemegang IUP, IPR, ata-u IUPK ditetapka.n
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 132
( 1) Besaran tarif iuran produksi ditetapkan berdasarkan
tingkat pengusahaan, produksi, dan harga kornoditas
tambang.
(2) Besaran tarif iuran produksi sebagaimana dimaks'ud
pada ayat ( 1) ditetapkan berdasarkan ket.entuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 133
(1) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dirnaksud
dalam Pasal 128 ayat (4) merupakan pendapatan negara
dan daerah yang pembagiannya ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penerimaan negara bukan pajak yang merupakan bagian
daerah dibayar langsung ke kas daerah setiap 3 (tiga)
bulan setelah disetor ke kas negara.
BAB XVIII
PENGGUNAAN TANAH UNTUK ICEGIAT'AN USAHA PERTAMBANGAPJ
Pasal 134
(1) Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas
tanah permukaan bumi.
(2) Kegiatan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat djiaksanakan
pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan
usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
(3) Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapat izin
dari instansi Pemerintah sesuai dengan keterlt uan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 135
Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat
melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan
dari pemegang hak atas tans-h.
Pasal 136
(1) Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan
operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah
dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.
Pasal 137
Pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
135 dan Pasal 136 yang telah melaksanakan penyelesa.ian
terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas tanah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangaii.
Pasal 138
Fak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan pemilikan
hak atas tanah.
BAB XIX . . .
PRESIDEN
REPUBLlK INDONESIA
BAB XIX
PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 139
(1) Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksariakan oleh
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatenl kota
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pemberian pedoman clan standar pelaksailaan
pengelolaan usaha pertambangan;
b. pemberian bimbiiigan, supervisi, dan konsultasi;
c. pendidikan darl pelatihan; dan
d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemarltauan,
dan evalua.si pelaksanaan penyelenggaraan usaha
pertambangan di bidang mineral dan batubara.
(3) Menteri dapat melimpahkan kepada guberngr untuIr
melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraa-n
kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambaiigan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanaltan
oleh pemerintah kabupatenl kota.
(4) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuaj dengan
kewenangannya bertanggung jawab melakukan
pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPH,
atau IUPK.
Pasal 140
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang
dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemenritah
kabupatenl kota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksariakan
oleh pemerintah kabupaten/ kota.
(3) Meiiteri
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Menteri, gubernur, dan bupati/ walikota sesuai dengan
kewenangannya melakukan pengawasan atas
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang
dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal 14 1
( 1) Pengawasan sebagairnana dimaksud dalam Pasal 140,
antara lain, berupa:
a. teknis pertarnbangan;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. pengolahan data mineral dan batubara;
e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;
f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambanga.n;
g. keselamatan operasi pertambangan;
h. pengelolaan lingkungan hidup, reklarnasi, dan
pascatambang;
i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kema~npuan
rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
j . pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;
k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
setempat;
1. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi
pertambangan;
m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha
pertambangan yang menyangkut kepentinga~lu mum;
n. pengelolaan IUP atau IUPK; dan
o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangar\.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf 1
dilakukan oleh inspektur tambang seslaai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3) Dalam ha1 pemerintah daerah provinsi atau pemerintah
daerah kabupatenl kota belum mempunyai inspektur
tambang, Menteri menugaskan inspektur tambang yang
sudah diangkat untuk melaksanaan pembii-laan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 142 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 142
(I) Gubernur dan bupati/walikota wajib melaporkan
pelaksanaan usaha pertambangan di wilayzhnya masingmasirig
sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan
kepada Menteri.
(2) Pemerintah dapat memberi teguran kepada pemerintah
daerah apabila dalam pelaksanaan kewenangannya tidak
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 143
(1) Bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap usaha pertambangan rakyat.
(2) Ke tentuan lebih lanjut mengenai pembinaan darl
pengawasan pertambangan rakyat diatur deilgan
peraturan daerah kabupatenl kota .
Pasal 14.4
Ketentuan le bih lanjut mengenai standar dan prosedu r
pembinaan serta pengawasan sebagaimana dimaksud dala~n
Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, dan Pasal 143
diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Perlindungan Masyarakat
Pasal 145
Masyarakat yang terkena dampak negatif langsu~lg dari
kegiatan usaha pertambangan berhak:
a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan
dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undsngan.
b. mengajukan gugatan kepada pengadjlan terhadap
kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang
menyalahi ketentuan.
(2) Ketentuan mengenai perlindungan masyara kat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangnn.
RAB XX . . .
FRESICEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB XX
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Bagian Mesatu
Penelitian dan Pengembangan
Pasal 146
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendorong,
melaksanakan, danlatau memfasilitasi pelaksanaar~ penelitian
dan pengembangan mineral dan batubara.
Bagian Kedua
Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 147
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib nlendorong,
melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan di bidang pengusahaan mineral dan
batubara.
Pasal 148
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.
BAB XXI
PENYIDIKAN
Pasal 149
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia,
pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pertambangan diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran 1apora.n atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam
kegiatan usaha pertambangan;
b. melakukan . .. .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atall badari
yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan
usaha pertambangan;
c. memanggil d an/ atau mendatangkan secara paksa
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai salcsi atau
tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usal~a
pertambangan;
d. menggeledah tempat dan/ atau sarana yang diduga
digunakan untuk melakukan tindak pidana da.1a.m
kegiatan usaha pertambangan;
e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana
kegiatan usaha pertambangan dan mer~ghentikan
penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana;
f. menyegel dan / atau menyita alat kegiatan usaha
pertambangan yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana sebagai alat bukti;
g. mendatangkan dan/ atau meminta bantuan tenaga ahli
yang diperlukan dalam hubungannya derlgan
pemeriksaan perkara tindak pidana dalam ke5iatan
usaha pertambangan; danlatau
h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana
dalam kegiatan usaha pertambangan.
Pasal 150
(1) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 149 dapat menangkap pelaku tindak pidana
dalam kegiatan usaha pertambangan.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dirrlaltsud pada
ayat (1) rnemberitahukan dimulai penyidikan dan
menyerahkan hasil penyidikannya kepada pejabat polisi
negara Republik Indonesia sesuai dengall ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Peilyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam ha1
tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan
merupakan tindak pidana.
(4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimalcsud pada
ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan .
BAB ,=I1 . . .
PRESIDEN
REPUBLiK INDONESIA
BAB XXII
SANKSI ADMINlSTRATIF
Pasal 15 1
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif'
kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 4 1, Pasal 43, Pasal 70, Pasal
7 1 ayat (I), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81
ayat (I), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97,
Pasal98, Pasal99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal
105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4),-Pasal 107, Pasal 108 ayat
(I), Pasal 1 10, Pasal 1 1 1 ayat (I), Pasal 1 12 ayat (I), Pasal
1 14 ayat (2), Pasal 1 15 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal
126 ayat (I), Pasal 128 ayat (1)) Pasal 129 ayat (11, atau
Pasal 130 ayat (2).
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh
kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan /atau
c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal 152
Dalam ha1 pemerintah daerah tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 1 dan hasil evaluasi
yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf j, Menteri dapat menghentikam
sementara dan/atau mencabut IUP atau IPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 153
Dalam ha1 pemerintah daerah berkeberatan terhadap
penghentian sementara dan/atau pencabutan IUP dan IPR
oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152,
pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 154
Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR,
atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase
dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 1 5 5 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 155
Segala akibat l~ukum yang timbul karena penghentian
sementara dan/atau pencabutan IUP, IPR atau IUPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 1 ayat (2) huruf b dan
huruf c diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 5 1, dan
Pasal 152 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 157
Pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai sanksi
administratif berupa penarikan sementara kewenangan atas
hak pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara.
BAB XXIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 158
Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP,
IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal
40 ayat (3), Pasal 18, Pasal 67 ayat (I), Pasal 74 ayat (1) atau
ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1.0
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 159
Pemegang IUP, IPH, atau IUPK yang dengan sengaja
menyampaikan laporan sebagaimana dirnaksud dalani Pasal
43 ayat (I), Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat (I), Pasal 105 ayat
(4), Pasal 110, atau Pasal 11 1 ayat (1) dengan tidak benar
atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun clan denda
paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 160 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 160
(I) Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa rr~emiliki
IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi
melakukan kegiatan operasi produksi dipjdana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lirria) tahun dam
denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
Pasal 161
Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau PUPK
Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,
penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang
IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalarn Pasai 37,
Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 aya t (l),
Pasal 74 ayat (I), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal
104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegjatan
usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPIC yang telah
lnemenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan palirig lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 163
(1) Dalam ha1 tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pjdana
penjara dan denda terhadap pengul-usnya, pidana yang
dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa
pidana denda dengan pemberatan ditambah 1 /3 (sat11 per
tiga) kali dari ketentuari maksimum pidana denda yang
dijatuhkan.
(2) Selairi . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
( 1)) badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/ atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 164
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158,
Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161, dan Pasal 162 kepada pelaku
tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan
tindak pidana;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana; danl atau
c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak
pidana.
Pasal 165
Setiap orang yang rnengeluarkan IUP, IPR, ata.u IUPI<>
bertentangan dengan Undang-Undang ini dan
menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling
lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
BAB XXIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 166
Setiap masalah yang timbul terhadap pelaksanaan ITJP, IFR,
atau IUPK yang bsrkaitan dengan dampak lingkungan
diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 167
WP dikelola oleh Menteri dalam suatu sistem informasi WP
yang terintegrasi secara nasional untuk melakukan
penyeragaman mengenai sistem koordinat dan peta dasar
dalam penerbitan WUP, WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan
WIUPK.
Pasal 168 . . .
PRESIDEN
REPUBLiK INDONESIA
Pasal 168
Untuk meningkatkan investasi di bidang pertambangan,
Pemerintah dapat memberikan keringanan dan fasilitas
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
kecuali ditentukan lain dalam IUP atau IUPK.
BAB XXV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 169
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Kontrak karya dan perjanjian karya per~gusahaan
pertambangan batubara yang telah ada sebelum
berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlaltukan
sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal k0ntra.k karya
dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a
disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahui~ sejak
Undang-Undang ini diundangkan kecuali rr~engenai
penerimaan negara.
c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana
dimaksud pada huruf b adalah upaya penirlgkatan
penerimaan negara.
Pasal 170
Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam 13asal
169 yang sudah berproduksi wajib melakukan perriurriian
sebagaimaria dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambatlambatnya
5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 171
(1) Pemegang kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara sebagairnana
dimaksud dalam Pasal 169 yang telah melakukan
tahapan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, ltonstruksi,
atau operasi produksi paling lambat 1 (satu) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang ini hams menyampaikan
rencana kegiatan pada seluruh wilayah
kontrak/perjanjian sampai dengan jangka waktu
berakhirnya kon trak/ perjanjian untuk mendapatkan
persetujuan pemerintah.
(2) Dalam . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Dalam ha1 ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak terpenuhi, luas wilayah pertambangan yang telah
diberikan kepada pemegang kontrak karya dan peljanjian
karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan
dengan Undang-Undang ini.
Pasal 172
Permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaa~l
pertambangan batubara yang telah diajukan kepada Menteri
paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang-
Undang ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip
atau surat izin penyelidik.an pendahuluan tetap dihormati dan
dapat diproses perizinannya tanpa melalui lelang berdasaskan
Undang-Undang ini.
BAB XXVI
KETENTUANPENUTUP
Pasal 173
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran lVegara
Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 283 1)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
Peraturan Perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang N O I J ~ O1~ 1
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Fokok
Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1967 Nomor 22, Tarnbahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 283 1) dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.
Pasal 174
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah
di tetapkan dalam wa ktu 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang
ini diundangkan.
Pasal 175
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
Agar setiap orang mengetahuinya, mernerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penenlpatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundanglcan di ,Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AND1 MATTALATTA
LEhIBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 4
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RJ
Kepala Biro Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
UIVDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2009
TENTANG
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung
dl dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan,
pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan,
berkelanj utan dan benvawasan lingkungan, serta berkeadilan agar
memperoleh manfaat sebesar- besar bagi kemakmuran rakyat secar a
berkelanjutan.
Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 'Tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undarrg
tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa sejak diberlakukannya telah
dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembangunan nasional.
Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang
ma teri muatannya bersifat sentraiistik sudah tidak sesuai dengan
perkembangan situasi sekarang dan tantangan di rrlasa depan, Di sarripirig
itu, pembangunan pertambangan harus menyesuaikan diri dengan
peruhahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun
internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral
dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokra tisasi,
otonomi daerali, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan
tekriologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan
peningkatan peran swasta dan masyarakat.
Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab
sejumlah perrnasalahan tersebut, perlu disusun peraturan peruridangundangan
baru di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat
memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan
penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertarnbangan
mineral dan batubara.
Undang-Undang . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIP,
Undang-Undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai bel-ikut:
1. Mineral dan batubara sebagai surriber daya yang tak terbarukan
dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya
dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan
pelaku usaha.
2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha
yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, mallpun
masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dari
batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah,
diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.
3. Dalam rangka penyelexlggaraan desentralisasi dan otonomi daerah,
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan
berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang
melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.
4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang
sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah
dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan
menengah serta mendorong tumbuhnya industri perlunjang
pertambangan.
6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha
pertambangan harus dilaksanakan dengarl memperhatikan prinsip
lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
11. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal2
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan bemawasan
lingkungan adalah asas yang secara terencana
mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial
budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dar~
batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan
masa mendatang.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal5
Cukup jelas.
Pasal6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Standar nasional di bidang pertambangan mineral dan
batubara adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yaiig
dibakukan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Hurufj . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf 1
Cukup j elas.
Huruf m
C ~ ~ kjuelpas .
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Culcup jelas.
H uruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Yang dimaksud dengan neraca sumber daya mineral da11
batubara tingkat nasional adalah neraca yang
menggambarkan jumlah sumber daya, cadangan, clan
produksi mineral dan batubara secara nasional.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
C ~ k u jpel as.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup j elas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Kewenangan yang dilimpahkan adalah kewenangan dalam
menetapkan WUP untuk mineral bukan logam dan batuan clalarn
satu kabupatenl kota atau lintas kabupaten/ kota.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Yailg dimaksud dengaiz luas adalah luas maksimuln clan luas
minimum.
Penentuan batas dilakukan berdasarkan keahlian yang diterima oleh
semua pihak.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal20
Cukup jelas.
Pasal2 1
Penetapan WPR didasarkan pada perericanaan dengan rnelakukan
sinkronisasi data dan informasi melalui sistem informasi WP.
Pasal22 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 22
Huruf a
Yang dimaksud dengall tepi dan tepi sungai adalalz daerah
akumulasi pengayaan mineral sekunder (pay streak) dalam
suatu meander sungai.
I-Iuruf b
Cukup jelas.
Iiuruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 23
Pengumuman rencana LVPR dilakukan di kantor desa / kelurahan dan
kantor/instansi terkait; dilengkapi dengan peta situasi yang
menggambarkan lokasi, luas, dan batas serta daftar koo~.ditalt ; dan
dilengkapi daftar pemegang hak atas tanah yang berada dalarn WPR.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal25
Cukup jelas.
Pasal26
Culcup j elas.
Pasal27
Ayat (1)
Penetapan WPN untuk kepentingan nasional diinaksudkan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, ketahanan energi
dan industri strategis nasional, serta meningkatkan daya saing
nasional dalam menghadapi tantangan global.
Yang.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Yang dimaksud dengan komoditas tertentu antara lain tembaga,
timah, emas, besi, nikel, dan bauksit serta batubara.
Konservasi yang dimaksud juga mencakup upaya pengelolaan
mineral dan/ atau batubara yang keberadaannya terbatas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sebagian luas wilayahnya adalah untuk
mcnentukan persentase besaran luas wilayah yang akan
diusahakan.
Ayat (3)
Ybng dimaksud dengan batasan waktu adalah WPIV yang
ditetapkan untuk konservasi dapat diusahakan setelah riieiewati
jangka waktu tertentu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan koordinasi adalah mengakomodasi
semua kepentingali daerah yaIig terkait dengan WUPK sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal3 1
Yang dimaksud dengan luas adalah luas maksimum dan luas
minimum.
Penentuan batas dilakukan berdasarkan keahlian yang diteri~nao leh
semua pihak.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup j elas.
Pasal 3.1
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pertambangan mineral radioaktif
adalah pertambangan sebagaimana diatur dalain peraturan
perundang-undangan di bidang ketenaganukliran
Huruf b
Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini
termasuk mineral ikutannya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Huruf a
Badan usaha dalam ketentuan ini meliputi juga badan usaha
milik negara dan badan usaha milik daerah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c. . .
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
IIuruf c
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Humf d
Jaminan kesungguhan dalam ketentuan ini termasuk
biaya pengelolaan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Muruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf 1
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf n
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasa! 4 1
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Jangka waktu 8 (delapan) tahun meliputi penyelidilcan urnurn 1
(satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2
(dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan
1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu)
tahun.
Ayat (2)
Jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umuni 1
(satu) tahun, eksplorasi 1 (satu) tahun, dan studi kelayakan P
(satu) tahun.
Yang dimaksud dengan mineral bukan logam je~lis tertentu
adalah antara lain batu gamping untuk industri semen, intan,
dan batu mulia.
Jangka waktu 7 (tujuh) tahun rneliputi penyelidikan umum 1
(satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjarig 1
(satu) kali 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun
dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun.
Ayat (3)
Jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1
(satu) tahun, eksplorasi 1 (satu) tahun, dan studi kelayakan 1
(satu) tahun.
Ayat (4)
Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi perlyelidikan umuril 1
(satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2
(dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi Itelayakan
2 (dua) tahun.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal45
Cukup jelas.
Fasal 46
Ayat ( 1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan data hasil kajian studi kelayakan
merupakan sinkronisasi data milik Pemerintah dan pemcrintah
daerah.
Pasal 47
Ayat ( 1)
Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam keterrtuan ini
termasuk jangka waktu uxltuk konstruksi selama 2 (dua)
tahun.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan mineral bukan logam jcnis tertentu
adalah antara lain batu gamping untuk industri semen, intan,
dsn batu mulia.
Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini
terrriasuk jangka waktu untuk konstruksi selanra 2 (dua)
tahun.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini
termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua)
tahun.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 5 1
Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini termasuk mineral
ikutannya.
Pasal52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda
keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihalc lain
dapat mengusahakan mineral tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat. (1)
C ukup jelas.
Ayat (2)
Apabila dalam WICJP terdapat mineral lain yang bel-beda
keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihalc lain
dapat merigusahakan mineral tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal56
Cukup jelas.
Pasal 5'7. . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal57
Cukup jelas.
Pasal58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda
keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain
dapat mengusahakan mineral tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal60
Cukup jelas.
Pasal6 1
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbecia
keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain
dapat mengusahakan mineral tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cu kup jelas.
Pasal 65
Cckup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 66
Cukup je.las.
Pasal67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Surat permohonan sehagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
disertai dengan meterai cukup dan dilampiri rekomendasi clari
kepala desa/ lurah/ kepala adat rnengenai kebenaran riwnyat
pemohon untuk memperoleh prioritas dalam mendapatkan JPR.
Pasal68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
H uruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
H uruf c
Kegiatan pengelo1aa.n lingkungan hidup meliputi pencegallan
dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi
lingkungan hidup, termasuk reklamasi lahan bekas tambang.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Laporan disampaikan setiap 4 (empat) bulan.
Pasa.1 7 1
Cukup jelas.
Pasal72
Cukup jelas.
Pasal 73. . .
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memperhatikan kepentingan daerah
adalah dalam rangka pernberdayaan daerah.
Ayat (2)
Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini termasulc
mineral ikutannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (41
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal75
Cukup jelas.
Pasal76
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat ( 1 )
Cukup jelas.
Ayat (2)
'Yang dimaksud dengan data hasil kajian studi kela.yakan
merupakan sinkronisasi data milik Pemerintah dan pemeriritah
daerah.
Pasal78
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b. . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf b
Cultup .jelas.
Iiuruf c
Cukup jelas.
Huruf d
'Jaminan kesungguhan termasuk di dalan~iiya biayra
pengelolaan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
EIuruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Muruf k
Cukup j elas.
Huruf 1
Cukup jelas.
Huruf m
Cl~kupje las.
Huruf n
Cu kup jelas.
Pasal 79
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b. . .
PRESIDEN
REPUBLlK INDONESIA
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf 1
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup j elas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q . . .
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas
Huruf x
Cukup jelas.
Huruf y
Pencantuman divestasi saham hanya berlaku apabila saham~iya
dimiliki oleh asing sesuai dengan ketentuaii peraturan
perundang-undangan.
Pasal80
Cukup jelas.
Pasal8 1
Cukup jelas.
Fasal 82
Cukup jelas.
Pasal83
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cu.kup jelas.
Huruf c. . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Jangka waktu 8 (delapan) tahun meliputi penyelidikan umurn 1
(satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2
(dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelajraklin
1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu)
tahun.
Huruf f
Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1
(satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat djperpan~ang2
(dua) ltali masing-masing 1 (sa-tu) tahun; serta studi Icelayakan
2 (dua) tahun.
Huruf g
Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini
termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua)
taliun.
Pasal84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal86
Cukup j elas.
Pasal87
Cukup j elas.
F'asal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal90
Cukup jelas.
PRESIDE N
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 9 1
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud eksplorasi tahapan tertentu dalam ketentuan
ini yaitu telah ditemukan 2 (dua) wilayah prospek dalam
kegiatan eksplorasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal95
Cukup jelas.
Pasal96
HUI-uf a
Cukup jelas.
EI uruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yarig dimaksud dengan sisa tambang meliputi antara lain
tailing dan limbah batubara.
Pasal97
Cukup jelas.
Pasal 98 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal98
Ketentuan ini dimaksudkan merigingat usaha pertambangan pada
sumber air dapat mengakibatkan perubahan morfologi sumber air,
baik pada kawasan hulu maupun hilir.
Pasal39
Cukup jelas.
Pasa! 100
Cukup jelas.
Pasal 10 1
Ketentuan mengenai dana jaminan reklamasi dan dana janlinan
pascatambang berisi, antara lain, besaran, tata cara penyetoran dan
pencairan, serta pelaporan penggunaan dana jaminan.
Pasal 102
Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk rneningkatkan
produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatarl terhadap
mineral ikutan.
Pasal 103
ayat (1)
Kewajiban untuk rnelakukarl pengolahan darl pemurnian di
dalam negeri dimaksudkan, antara lain, untuk rneningkatkan
dan mengoptimalkan nilai tainbang dari produk, tersedianya
bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan
perlingkatan penerimaan negara.
a.vat (2)
Cukup jelas.
ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Ayat i 1 f
Yang dimaksud dengan terlebih dahulu memiliki IUP Operasi
Produksi untuk penjualan dalam ketentuan ini adalah
pengumsan izin pengangkutan dan penjualan atas lnineral
dan/ atau batubara yang tergali.
Ayat (2). . .
PHESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Aya.t (2)
Izin diberikan setelah terlebih dahulu dilakukan perneriksaan
dan evaluasi atas mineral dan/atau batubara yang tergali ole11
instansi teknis terkait.
AyaL (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 106
Pemanfaatan tenaga kerja setempat tetap mernper-tirnbangkan
kompeterisi tenaga kerja dan keahlian tenaga kerja yang tersedja.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendulsung dan
menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih rrlampu
bersaing.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah masyarakat yang
berdomisili di sekitar operasi pertambangan.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 1 10
Cukup jelas.
Pasal 11 1
Cukup jelas.
Pasal 2 12
Cukup jelas.
Pasal ! 13
Ayat ( 1
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
I-Iuruf a
Yang dimaksud keadaan kahar wrce majeurj dalam ayat
ini, antara lain, perang, kerusuhan sipil, pemberontakan,
epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran, dan bencnna
alam di luar kemampuan manusia.
Muruf b
Yang dimaksud keadaan yang menghalangi dalam ayat
ini, antara lain, blokade, pemogokan, dan perselisihan
perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP atau IUPK
dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan
oleh Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha
pertambangan yang sedang berjalan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Permohonan menjelaskan kondisi keadaan kahar dan/atau
lreadaan yang menghalangi sehingga mengakibatkan
penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha
pertambangan.
Ayat (4)
Permohonan masyarakat memuat penjelasan keadaan kondisi
daya dukung lingkungan wilayah yang dikaitkan dongan
aktivitas kegiatan penambangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 1 14
Cukup jelas.
Pasal 1 1 S
Cukup jelas.
Pasal 1 16
Cukup jelas.
Pasal 1 17
Culcup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 1 18
Ayat (1) I
Yang dimaksud dengan alasan yang jelas dalam keter~tuan ini
antara lain tidak ditemukannya prospek secara teknis,
ekonornis, atau lingltungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 1 19
Cukup jelas.
Pasal 120
Yang dimaksud dengan peningkatan adalah peningkatan dari tahap
ekplorasi ke tahap operasi produksi.
Pasal 12 1
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Ayat (1)
F'erusahaan nasional dapat mendirikan perusahaan cabang di
daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 1 2 8 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
C~tkupj e las.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Persetujuan dari pemegang hak atas tanah dimaksudkan untuk
menyelesaikan lahan-lahan yang terganggu oleh kegiatan eksplorasi
seper-ti pengeboran, parit uji, dan pengambilan contoh.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas. . .
PRESlDEN
REPUBLIK INDONESIA
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah mereka yang
terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha
pertambangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 15 1
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cultup jelas . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal I57
Cukup j elas.
Pasal 155
Cukup jelas,
Pasal 1.59
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 1612
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah pejabat yang menerbitkan
IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal l66
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 1G8
Cukup jelas.
Pasal 169
Huruf' a
Cukup jelas.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Huruf b
Semua pasal yang terkandung dalam kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara harus
disesuaikan dengan Undang-Undang.
Huruf c:
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 17 1
Cuku.p jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasa.1 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4959