Tulisan di bawah ini saya sikapi dengan berbagi cerita pengalaman pribadi yang bersangkutan dengan berita di koran Kompas pada hari yang sama seperti tertera di kedua link berikut:
2.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/28/03145536/izin.perlu.dievaluasi
Anwari Doel Arnowo - 28 Januari, 2010.
LISTRIK DAN BATUBARA
Suatu saat pada awal tahun 1992an, saya sedang duduk di sebuah bukit tempat pariwisata di Thailand Utara di kawasan propinsi Lampang. Terlihat di sekeliling saya berdatangan orang-orang awam, rakyat biasa, berpakaian liburan. Menarik pandangan mata saya untuk beralih melihat serombongan Bhiksu yang turun beraturan dari sebuah bus yang khusus guna mengangkut mereka.
Udara jernih, segar, langit terang, pandangan mata mencapai jauh sampai ke horizon.
Jernih, segar dan ... horizon? Ah ada yang kurang pas di sini. Apa?
Saya lihat tidak terlalu jauh dari tempat saya berada, asap mengepul tebal ke udara. Asal mula asap tebal hitam keabu-abuan itu dari tiga cerobong asap yang besar dan tinggi. Saya bersama dengan tiga orang geologist yang bahasa Indonesianya ahli geologi, asal Thailand yang mengantarkan saya ke mana-mana, berhari-hari lamanya, sejak dari Chiang Mai ke Bangkok, naik mobil melalui tambang-tambang batubara milik sebuah perusahaan Thailand yang besar di mana ketiga ahli geologi itu bekerja dan telah sekian tahun lamanya menjadi karyawan. Saya tanyai mereka itu asap dari pabrik apa?? Mereka menjawab bangga berebutan: itu sebuah Power Plant yang disebut dengan nama Mae Moh, berkapasitas 200(?) Mega Watt. Dan lain-lain informasi mengenai pabrik listrik ini. Yang saya catat dengan baik di otak saya adalah, power plant ini adalah coal fired, pembangkit listrik dengan batu bara yang paling rendah kadar kalorinya (jenis lignite) sebagai bahan bakar utama. Lignite dapat digolongkan ke dalam batubara yang kadarnya rendah mendekati kadar dari gambut (peat), silakan simak dan membaca: http://en.wikipedia.org/wiki/Lignite.
Sesuatu seperti bunyi klik sebuah tombol, berbunyi dan terdengar nyaring di kepala dan akal saya. Lignite, begitu rendah kalorinya sampai jarang dibicarakan dan tidak dilirik oleh siapapun mereka, yang pada waktu itu berusaha di bidang perdagangan maupun penambangan komoditi batubara, agar bisa menghasilkan listrik. Mereka hanya melirik yang nilai-kalori(calorific value)nya minimum 5000 kalori.
Sudah lebih
Di sinilah kunci “benar dan salah” dalam periode setelah selesai menambang nanti.
Menambang batubara atau mineral adalah one way traffic (satu arah) saja. Menggali, melakukan penambangan, mengangkut hasil tambang ke luar dan mereklamasi. Tahapan terakhir ini amat sering dilupakan atau pura-pura lupa, membiarkan lubang-lubang bekas penambangan begitu saja, tanpa reklamasi. Pak Bupatinya lengah, petugas Lingkungan Hidup juga mungkin tidak melirik. Kasihanilah anak dan cucu kita, our future Indonesians – yang saat ini disebut dengan istilah tunas bangsa.
Mereka akan mengenyam ketidak-nyamanan hidup.
Apa sebab??
Pada jaman mereka nanti, batubara kelas tinggi kalori sudah habis karena high grading yang serakah yang merupakan sikap tidak peduli dari kakek moyangnya, yakni kami ini, pada saat sekarang!! Pada jaman mereka nanti mungkin akan sudah ditemukan teknologi baru yang bisa dipakai untuk menggunakan pemanfaatan lignite, menggunakan gambut bahkan ban-ban mobil yang bekas, serta bahan bakar lain untuk menggerakkan turbin pemutar generator pembangkit listrik. Pada saat sudah diketaui ada sisa-sisa low grade coal di bawah tanah reklamasi, mungkin saja tidak bisa ditambang dengan serta merta, antara lain sebab paling mungkin adalah Kementerian Kehutanan tidak akan mengijinkan, karena di atas tanah di situ mungkin sudah ada hutan produksi. Meskipun Penambangan bawah tanah (underground) akan mungkin dilakukan, bisa juga akan berpotensi merusak hutan industri itu. Karena inilah kegiatan menambang batubara saya sebut tadi adalah one way traffic karena hanya bisa sekali jalan karena tidak ada regenerasi di dalam bahan galian tambang. Hasil tambang biasa dimasukkan ke adalah kategori habis pakai. Apalagi ditambah adanya fakta bahwa proses batubara terbentuk setelah melalui proses yang amat lama, sekitar TIGA RATUS JUTA TAHUN lamanya.
Untuk catatan saja: batubara telah dikenal sejak 4000 tahun sebelum Masehi di China (di kawasan
Sudah saatnya kita mengurangi bahkan menghentikan ekspor batubara, karena kita sendiri amat membutuhkannya dalam masa depan yang dekat sekali, demi kelangsungan kehidupan berbangsa. Ini berlaku untuk minyak. Batalkan kontrak yang ada dan membayar ganti rugi karenanya. Jumlah ganti rugi untuk pembatalan ini pasti akan lebih menguntungkan daripada kita mengimportnya kembali sekarang ini seperti minyak, juga batubara dan komoditi lainnya selain mineral dan hasil tambang apapun. Pantaskah misalnya garam yang ada di pasar sekarang, sekitar 50% adalah garam import? Apakah air laut kita sudah menjadi tawar??
Mari kita periksa kesalahan di Mae Moh pada saat ini.
Dua puluh tahun yang lalu, saya lihat di Mae Moh tiga cerobong asap yang menjalankan pembangkit listrik kapasitas 200 Mega Watt, dan saya hanya berkomentar langit jernih, segar dan jauhnya garis horizon. Tetapi adanya perkembangan kemajuan peradaban manusia di Thailand hanya di dalam tempo kurang dari 20 tahun, telah mengubah kemampuan Mae Moh Power Plant menjadi sebuah kompleks yang menghasilkan listrik 2300 lebih MW, sepuluh kali lebih banyak dari kapasitas awal. Sekarang terlihat sembilan cerobong kecil-kecil dan satu yang besar, menghasilkan polusi yang hebat, sehingga mendapat hukuman dari pengadilan. Apa yang telah terjadi secara hukum? EGAT (Electricity Generating Authority of Thailand) yaitu sama dengan PLN (Perusahaan Listrik Negara) kita di Indonesia, dihukum oleh putusan pengadilan Thailand untuk memberi ganti rugi kepada mereka yang tergusur, yang juga terkontaminasi dan mengalami penderitaan karena terjadinya polusi di sekitar Mae Moh. Ini adalah urusan salah kaprah karena telah ceroboh melanggar urusan pemeliharaan Lingkungan Hidup. Kepada setiap penduduk harus diberikan antara lain kompensasi senilai tujuh ribu
Sepulang saya ke Indonesia dari meninjau Mae Moh, saya sering sekali membicarakan serta mengusahakan pemanfaatan batubara berkalori rendah untuk membangun power plant-power plant skala kecil sekitar satu MW sampai lima MW di Kalimantan dan Sumatera, agar menghasilkan listrik-listrik untuk daerah-daerah kecil setingkat Kecamatan dan Kabupaten. Saya dengar, waktu itu sebuah perusahaan kayu di dekat kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, ada yang telah memiliki sebuah pembangkit listrik yang berukuran satu megawatt dan kelebihan kebutuhan kapasitasnya bisa di jual kepada rakyat di sekitarnya. Dalam benak saya, waktu itu sekitar tujuh belas tahun yang telah silam,
Mengapa bensin bisa, dan listrik tidak?
Bukankah sekarang sudah ada pompa bensin Shell dan Petronas serta perusahaan asing yang lain. Mengapa menjual listrik saja harus BUMN? Bukankah faktanya BUMN itu tidak manusiawi, contohnya: bayar terlambat dari batas tanggal langsung dimatikan, tetapi pemadaman PLN tidak membayar ganti rugi kepada konsumen. Bahkan tindakan pemadaman tidak disertai pemberi tauan terlebih dahulu.
Memang saya akui saya tidak dapat terus berkonsentrasi di dalam usaha saya di bidang batubara, oleh karena perkembangan usaha saya di bidang tambang mineral lebih cepat mendesak untuk ditekuni dan dilakukan segera. Jadi saya terpaksa meninggalkan usaha saya di bidang energi. Saya pernah juga mengunjungi sebuah Power Plant yang berukuran lebih dari 4000 megawatt di Hongkong, yang juga menjual listriknya sebagian besar ke Republik Rakyat
Oleh karena hari ini tanggal 28 Januari, 2010,
Saya sendiri masih memimpikan sebanyak mungkin power plant berukuran kecil yang memanfaatkan lignite atau gambut dibangun di seluruh Kalimantan, sebanyak mungkin dan semua kelebihan produksinya, setelah secara sepenuhnya bisa di-disitribusi-kan ke seluruh pelosok Kalimantan, disalurkan melalui sebuah fasilitas kabel di dasar Laut Jawa disalurkan dan di-distribusi-kan ke Jawa dan Bali. Jalurnya sudah pernah saya tinjau sendiri berujung di daerah Asam-Asam di dekat Pelaihari, Kalimantan Selatan, dan mengarah ke ujung Timur Pulau Madura. Menurut perkiraan saya, jarak tersebut adalah sekitar 250 kilometer. Hal itu bukan masalah mudah dan murah, juga harus disadari bahwa mengalirkan listrik dari Arus Bolak-Balik ke kabel laut harus diubah dulu menjadi Arus Satu Arah dan ketika kembali memasuki tempat tujuan maka harus dikembalikan menjadi Arus Bolak-Balik. Masalah pembiayaan memang menyangkut angka yang besar sekali karena menurut penyelidikan saya waktu itu, kabel laut itu biayanya adalah sekitar sepuluh juta USDollar per kilometer, belum termasuk sarana-sarana penunjangnya. Mengapa saya impikan hal ini? Itu karena
Dalam kesempatan saya berkali-kali ke
Pada suatu saat group perusahaan tempat saya bekerja menggunakan jasa seorang ahli geologi yang ulung, berkebangsaan Kanada akan tetapi bertempat tinggal di Amerika Serikat, bernama B. Jones. Berdua saja dengan Jones ini, suatu saat saya berada di atas daerah bagian Selatan dari Kalimantan Tengah dan melalui daerah Pelaihari, agak lama di atas daerah yang penuh rawa-rawa. Bung Jones ini sambil menunjuk ke arah rawa-rawa itu, berkata kepada saya: “Mr. Arnowo, look at those swamps. Nobody give attention to those swamps. I predict that someday, people will dig their shovel underneath those, to find minable materials, it could be gold but it could be also coal” -- Pak Arnowo, lihatlah ke rawa-rawa itu. Tidak ada orang yang memperhatikan rawa-rawa tersebut. Saya duga bahwa pada suatu hari, orang akan menancapkan sekopnya di bawahnya (rawa-rawa) dan menemukan galian tambang yang mungkin berupa emas atau batubara. Mula-mula saya berpikir, ah banyak ahli geologi
Semoga anak-anak dan cucu-cucu kita masih bisa menikmati warisan baik yang bisa tertinggal untuk membantu kehidupan mereka, kalau kita semua telah tiada lagi di dunia ini.
Anwari Doel Arnowo
Kamis, 28 Januari 2010
KRISIS LISTRIK
Tiga Hari Muara Teweh Gelap,
Kamis, 28 Januari 2010 | 03:09 WIB
M Rosadi, warga Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, kepada Kompas, Rabu (27/1), mengatakan, aksi unjuk rasa ke Kantor PLN berlangsung dalam tiga malam terakhir sejak Senin (25/1). ”Warga protes karena dalam sehari listrik menyala cuma enam jam. Kondisi ini membuat sejumlah kegiatan warga terganggu,” katanya.
Menurut Rosadi, warga marah karena sebelum terjadi pemadaman selama 18 jam dalam tiga hari terakhir ini, aliran listrik di Muara Teweh juga selalu dua hari sekali. Kondisi itu membuat pengeluaran warga untuk menyediakan penerangan listrik, seperti memakai generator set (genset), menjadi bertambah.
”Di Muara Teweh harga bensin eceran mencapai Rp 5.500 atau lebih mahal daripada harga normal Rp 4.500 per liter. Jika memakai genset semalaman saja memerlukan 4 liter bensin. Sebulan terakhir saya sudah mengeluarkan Rp 500.000 hanya untuk menghidupkan genset,” katanya.
Tambahan
Kepala Bagian Humas PLN Kalsel dan Kalteng Anggraeni, yang dihubungi di Banjarbaru, mengatakan, pihaknya menerima informasi dari PLN Muara Teweh bahwa pada Rabu kemarin sudah ada tambahan pembangkit listrik 0,5 megawatt (MW) dari PLN Buntok, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, untuk mengatasi krisis listrik di daerah itu.
Sementara terjadinya pemadaman listrik yang berlangsung lama dalam tiga hari terakhir, ungkap Anggraeni, disebabkan kerusakan di satu unit pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) berkapasitas 1 MW. Satu unit lainnya, dengan kapasitas yang sama, saat ini dalam kondisi turun mesin (overhaul).
”Mesin yang overhaul diperkirakan sudah bisa beroperasi lagi dua minggu hingga tiga minggu mendatang. Sementara pembangkit yang sedang dalam perbaikan diharapkan dalam beberapa hari mendatang sudah normal kembali,” kata Anggareni.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/28/03145536/izin.perlu.dievaluasi
Izin Perlu Dievaluasi
PAD Kalsel dari Batu Bara Tidak Sampai Rp 1 Triliun
Kamis, 28 Januari 2010 | 03:14 WIB
”Ribuan desa di
”Ini memprihatinkan. Rakyat Kalimantan yang menanggung kerusakan lingkungan akibat penambangan batu bara tidak banyak menikmati listrik. Bahkan, masih krisis listrik,” kata
Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak sependapat dengan
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Kahar Al Bahri, berkomentar lebih keras. Menurut dia, sebaiknya izin penambangan batu bara yang sudah dikeluarkan dievaluasi sebab penambangan yang sudah berlangsung tidak saja merusak lingkungan, dengan meninggalkan sejumlah besar lubang-lubang raksasa, tetapi juga tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
”Pengamatan kami, pertambangan gagal meningkatkan perekonomian masyarakat, bahkan menyisakan lingkungan yang hancur. Sekitar 102.000 orang dari 204.000 warga Kabupaten Kutai Timur, misalnya, saat ini tergolong miskin. Padahal, di situ beroperasi satu perusahaan tambang batu bara dengan produksi 35 juta ton per tahun,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Kahar, hanya 35 desa dari 135 desa di Kutai Timur yang dialiri jaringan listrik.
Pengamat ekonomi lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat, Udiansyah, senada dengan Kahar. Menurut dia, hasil produksi batu bara yang masuk ke daerah hanya sebagian kecil. ”Dari nilai produksi batu bara Kalsel yang mencapai Rp 22 triliun, untuk produksi 80-100 juta ton per tahun, yang menjadi pendapatan asli daerah (PAD) tidak sampai Rp 1 triliun,” katanya.
Belum teraliri listrik
Sejumlah data menunjukkan, di Kalimantan saat ini terdapat 2.103 desa (31,35 persen dari 4.605 desa) yang belum mendapat pelayanan PLN. Di Kaltim, yang mengeluarkan 1.180 kuasa penambangan (KP) batu bara, tercatat 577 desa yang tidak berlistrik. Di Kalsel (penerbit 400-578 KP) terdapat 222 desa yang masih gelap. Di Kalimantan Tengah (penerbit 427 KP) terdapat 777 desa yang tanpa listrik, sedangkan di Kalimantan Barat (yang mengeluarkan 40 KP) ada 527 desa belum terlayani PLN.
Minimnya listrik yang dialirkan PLN di Kalimantan memaksa sebagian masyarakat menyediakan dana untuk membeli bahan bakar minyak, oli, dan perawatan genset. ”Pengeluaran setiap bulan untuk listrik rata-rata Rp 600.000,” kata Poniso Suryo, Camat Rantaupulung, Kutai Timur.(WER/FUL/BRO/AHA)
No comments:
Post a Comment